Selasa, 15 Desember 2015

Filsafat Barat Abad Pertengahan


(Membahas tentang tokoh Nicolaus Cusanus)

  1. Pendahuluan
1.       Latar Belakang Masalah
Pada abad pertengahan tepatnya pada zaman skolastik, filsafat mulai berkembang. Banyak para tokoh pada masa ini, yang selain menguasai filsafat juga sangat mahir dan taat pada ajaran agamanya, utamanya Kristen. Banyak sekali seorang uskup atau pendeta pada masa ini selain  beliau mendalami ajaran-ajaran agamanya, mereka juga banyak yang pandai berfilsafat, yang gunanya untuk memperkuat keyakinan mereka terhadap Sang Pencipta.
Diantaranya tokoh-tokoh yang mungkin  terkenal dengan pemikirannya ialah: Johanes Scotus Eriugena (810-870 M), Anselmus (1033-1109 M), Petrus Abaelardus (1079-1142 M), Albertus Agung (1206-1280 M), Thomas Aquinas (1225-1274 M), Bonaventura (1221-1257 M), dan yang termasuk juga seorang tokkoh pemikir pada masa ini ialah Nicolacus  Cusanus (1401-1464 M), Nicolaus lahir pada zaman skolastik akhir. Tokoh inilah yang akan dibahas, dengan pokok pemikirannya mengenai De docta agnorantia (ketidak tahuan yang tahu).
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan, “Bagaimana masa skolastik akhir, biografi tokoh Nicolaus Aquinas, dan apa saja aspek-aspek inti dari pemikirannya?”
3.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini, ialah untuk memaparkan dan menjelaskan mengenai masa skolastik akhir, biografi dari tokoh Nicolaus dan aspek inti dari pemikirannya.




  1. Pembahasan
1.Skolastik Akhir       
Perkembangan Skolastik yang paling memuncak dicapai pada pertengahan kedua abad ke-13 dan perempatan pertama abad ke-14. Pada abad ke-14 itu makin lam timbullah ras jemu terhadap segala macam filsafat yang konstruktif. Sebab orang-orang yang setia kepada pemikiran yang membangun menampakkan gejala pembekua. Timbullah dua kelompok pemikir, yaitu dari aliran Thomisme dan Scotisme.Di samping itu masih ada lagi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan lebih lemah, yaitu aliran yang mengikuti Augustinus dan Albertus Agung. Dapat dikatakan, bahwa pada aliran-aliran itu tiada pemikiran yang baru, melainkan asli. Kelompok ini disebut kelompok via antiqua (jalan kuna).
Timbullah suatu aliran baru, yang berbeda sekali dengan sistem pemikiran dalam masa kejayaan Skolastik dan berbeda juga dengan aliran via antique, yaitu aliran yang disebut viua moderna (jalan modern). Aliaran ini menolak pemikiran metafisis yang konstruktif. Perhatiannya lebih diarahkan kepada cara manusia mengenal dan kepada segala “yang ada”. Ajarannya yang mengenai pengenalan mengarah kepada nominalisme. Sekalipun perhatiannya lebih diarahkan kepada hal-hal yang ilmiah secara positif, bukan kepada persoalan-persoalan filsafati. Oleh karena itu bidang teologia yang diperhatikan ialah persoalan gerejani dan perpolitikan yang kongkrit.[1]
Masa ini ditandai dengan adnya rasa jemu terhadap segala macam pemikiran filsafat yang menjadi kiblatnya sehingga memperlihatkan stagnasi (keberhentian). Diantara para tokoh pada zaman ini, ialah William Ockham (1285-1349 M) dan Nicolaus Cusanus.(1401-1464 M)[2]


2. Biografi Nicolaus Cusanus (1401-1464 M)
            Nicolaus Cusanus (1401-1464 M) yang berasal dari cues, sebuiah dusun berdekatan dengan kota Trier di Jerman. Ia belajar di Universitas Heidelberg, Padua dan Koln. Ia memainkan peranan penting dalam kalangan Gereja pada waktu itu. Beberapa kali ia dipercayakan tugas sebagai utusan khusus dari Sri Paus di Roma. Pada tahun 1448 ia diangkat menjadi Kardinal dan sejak tahun 1450 ia memangku jabatan uskup di Brixen (Austria). Kegiatannya dalam bidang praktis tidak menghalangi bahwa ia aktif juga dalam pengetahuan. Ia menulis tentang matematika, ilmu pengetahuan alam, astronomi, filsafat dan teologi. Luasnya pengetahuan Nicolaus bagaikan ensiklopedi.[3] Ada juga yang mengatakan bahwa ia pernah menimba ilmu pengetahuan di Deventer.

3. Pemikiran Nicolaus Cusanus (1401-1464 M)
            Menurut Nicolaus ada 3 cara untuk mengenal, yaitu dengan indra, dengan akal dan secara intuitif. Pengetahuan indrawi memberikan pengetahuan tentang benda-benda yang berjasad, pengenalan ini tidak sempurna.[4] Rasio atau akal membentuk konsep-konsep atas dasar pengenalan indrawi dan aktivitasnya sama sekali dikuasai oleh prinsip non-kontradiksi (tidak mungkin bahwa sesuatu ada dan serentak tidak ada). Tetapi pengenalan rasio nal tidak melebihi dugaan saja. Dengan rasio kita hanya secara kasar mencapai realitas. Di sini pengetahuan yang tertinggi ialah mengakui bahwa kita tidak mengetahui apa-apa (docta ignorantia). Tetapi disamping pengenalan rasional masih ada jenis pengenalan lain, yaitu intuisi. Dengan intuisi manusia dapat mencapai yang tak terhingga, obyek tertinggi filsafat, di mana tidak ada hal-hal yang berlawanan dan akibatnya prinsip non-kontradiksi tidak berlaku di sini. Intuisi tidak dapat diekspresikan dengan bahsa rasional dan sebagai pengganti sebaiknya digunakan ibarat dan symbol.[5]

           

Allah adalah obyek sentral bagi intuisi manusia. Dalam diri Allah semua hal yang berlawanan mencapai kesatuan (coincidentia oppositorium). Dialah yang paling besar dan yang paling kecil. Dialah yang ada dan tidak ada. Dialah satu dan banyak. Pendeknya, Allah melampaui semua perlawanan yang dijumpai pada taraf entitas-entitas berhingga.
Semua makhluk berhingga berasal dari Allah Sang Pencipta. Dan segalanya yang ada akan kembali pula pada Penciptanya. Di sini filsafat Nicolaus menjadi teologi, karena selaku orang Kristen, ia menganggapa Yesus Kristus sebagai titik pusat alam semesta. Kembalinya segala sesuatu kepada Allah berlangsung melalui Kristus.[6]
            Nicolaus Cusanus dipengaruhi oleh banyak ajaran dan pendirian yang mempunyai peranan dalam Abad Pertengahan. Demikianlah Nicolaus telah mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan menjadi suatu sintese yang besar. Ia mempersatukan pemikiran Augustinus dan Dionisius dari Areopagos serta pemikiran Johanes Scotus Eriugene dan Thomas Aquinas. Sintesisnya menunjuk ke masa depan. Di dalamnya telah tersirat pemikiran para Humanis penganut pahan Humanisme.[7]

3. Penutup
      Kesimpulan
                  Menurut Nicolaus ada 3 cara untuk mengenal, yaitu dengan indra, dengan akal dan secara intuitif. Nicolaus Cusanus dipengaruhi oleh banyak ajaran dan pendirian yang mempunyai peranan dalam Abad Pertengahan. Demikianlah Nicolaus telah mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan menjadi suatu sintese yang besar. Ia mempersatukan pemikiran Augustinus dan Dionisius dari Areopagos serta pemikiran Johanes Scotus Eriugene dan Thomas Aquinas.
     


Daftar Pustaka
Hadiwijono Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat , 1990, Yogyakarta: PT. Kanisius
      Bertens. K, Ringkasan Sejarah Filsafat, 1998, Yogyakarta: PT. Kansius
      Achmadi Asmoro, Filsafat Umum, 2012, Jakarta: PT. Raja Grafindo



[1] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat , 1990, Yogyakarta: PT. Kanisius, hlm. 118
[2] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, 2012, Jakarta: PT. Raja Grafindo, hlm. 79-80
[3] Prof. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, 1998,                 Yogyakarta: PT. Kansius, hlm. 42
[4] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat , 1990, Yogyakarta: PT. Kanisius, hlm. 120
[5] Prof. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, 1998,                 Yogyakarta: PT. Kansius, hlm. 42
[6] Prof. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, 1998,                 Yogyakarta: PT. Kansius, hlm. 43
[7] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat , 1990, Yogyakarta: PT. Kanisius, hlm. 121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar