Filsafat Barat Abad Pertengahan
(Membahas tentang
tokoh Nicolaus Cusanus)
- Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Masalah
Pada abad pertengahan tepatnya pada zaman skolastik,
filsafat mulai berkembang. Banyak para tokoh pada masa ini, yang selain
menguasai filsafat juga sangat mahir dan taat pada ajaran agamanya, utamanya
Kristen. Banyak sekali seorang uskup atau pendeta pada masa ini selain beliau mendalami ajaran-ajaran agamanya, mereka
juga banyak yang pandai berfilsafat, yang gunanya untuk memperkuat keyakinan
mereka terhadap Sang Pencipta.
Diantaranya tokoh-tokoh yang mungkin terkenal dengan pemikirannya ialah: Johanes
Scotus Eriugena (810-870 M), Anselmus (1033-1109 M), Petrus Abaelardus
(1079-1142 M), Albertus Agung (1206-1280 M), Thomas Aquinas (1225-1274 M),
Bonaventura (1221-1257 M), dan yang termasuk juga seorang tokkoh pemikir pada
masa ini ialah Nicolacus Cusanus
(1401-1464 M), Nicolaus lahir pada zaman skolastik akhir. Tokoh inilah yang
akan dibahas, dengan pokok pemikirannya mengenai De docta agnorantia (ketidak tahuan yang tahu).
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat
dirumuskan, “Bagaimana masa skolastik akhir, biografi tokoh Nicolaus Aquinas,
dan apa saja aspek-aspek inti dari pemikirannya?”
3.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penulisan makalah ini, ialah untuk memaparkan dan menjelaskan mengenai masa
skolastik akhir, biografi dari tokoh Nicolaus dan aspek inti dari pemikirannya.
- Pembahasan
1.Skolastik Akhir
Perkembangan Skolastik yang paling memuncak dicapai
pada pertengahan kedua abad ke-13 dan perempatan pertama abad ke-14. Pada abad
ke-14 itu makin lam timbullah ras jemu terhadap segala macam filsafat yang
konstruktif. Sebab orang-orang yang setia kepada pemikiran yang membangun
menampakkan gejala pembekua. Timbullah dua kelompok pemikir, yaitu dari aliran
Thomisme dan Scotisme.Di samping itu masih ada lagi kelompok-kelompok yang
lebih kecil dan lebih lemah, yaitu aliran yang mengikuti Augustinus dan Albertus
Agung. Dapat dikatakan, bahwa pada aliran-aliran itu tiada pemikiran yang baru,
melainkan asli. Kelompok ini disebut kelompok via antiqua (jalan kuna).
Timbullah suatu aliran baru, yang berbeda sekali
dengan sistem pemikiran dalam masa kejayaan Skolastik dan berbeda juga dengan
aliran via antique, yaitu aliran yang
disebut viua moderna (jalan modern).
Aliaran ini menolak pemikiran metafisis yang konstruktif. Perhatiannya lebih
diarahkan kepada cara manusia mengenal dan kepada segala “yang ada”. Ajarannya
yang mengenai pengenalan mengarah kepada nominalisme. Sekalipun perhatiannya
lebih diarahkan kepada hal-hal yang ilmiah secara positif, bukan kepada
persoalan-persoalan filsafati. Oleh karena itu bidang teologia yang
diperhatikan ialah persoalan gerejani dan perpolitikan yang kongkrit.[1]
Masa ini ditandai dengan adnya rasa jemu terhadap
segala macam pemikiran filsafat yang menjadi kiblatnya sehingga memperlihatkan stagnasi (keberhentian). Diantara para
tokoh pada zaman ini, ialah William Ockham (1285-1349 M) dan Nicolaus
Cusanus.(1401-1464 M)[2]
2. Biografi Nicolaus Cusanus (1401-1464 M)
Nicolaus Cusanus
(1401-1464 M) yang berasal dari cues, sebuiah
dusun berdekatan dengan kota
Trier di Jerman. Ia belajar di Universitas Heidelberg ,
Padua dan Koln .
Ia memainkan peranan penting dalam kalangan Gereja pada waktu itu. Beberapa
kali ia dipercayakan tugas sebagai utusan khusus dari Sri Paus di Roma. Pada
tahun 1448 ia diangkat menjadi Kardinal dan sejak tahun 1450 ia memangku
jabatan uskup di Brixen (Austria ).
Kegiatannya dalam bidang praktis tidak menghalangi bahwa ia aktif juga dalam
pengetahuan. Ia menulis tentang matematika, ilmu pengetahuan alam, astronomi,
filsafat dan teologi. Luasnya pengetahuan Nicolaus bagaikan ensiklopedi.[3] Ada juga yang mengatakan bahwa ia pernah menimba ilmu
pengetahuan di Deventer .
3. Pemikiran Nicolaus Cusanus (1401-1464 M)
Menurut Nicolaus ada 3
cara untuk mengenal, yaitu dengan indra, dengan akal dan secara intuitif.
Pengetahuan indrawi memberikan pengetahuan tentang benda-benda yang berjasad,
pengenalan ini tidak sempurna.[4]
Rasio atau akal membentuk konsep-konsep atas dasar pengenalan indrawi dan
aktivitasnya sama sekali dikuasai oleh prinsip non-kontradiksi (tidak mungkin
bahwa sesuatu ada dan serentak tidak ada). Tetapi pengenalan rasio nal tidak
melebihi dugaan saja. Dengan rasio kita hanya secara kasar mencapai realitas.
Di sini pengetahuan yang tertinggi ialah mengakui bahwa kita tidak mengetahui
apa-apa (docta ignorantia). Tetapi
disamping pengenalan rasional masih ada jenis pengenalan lain, yaitu intuisi.
Dengan intuisi manusia dapat mencapai yang tak terhingga, obyek tertinggi
filsafat, di mana tidak ada hal-hal yang berlawanan dan akibatnya prinsip
non-kontradiksi tidak berlaku di sini. Intuisi tidak dapat diekspresikan dengan
bahsa rasional dan sebagai pengganti sebaiknya digunakan ibarat dan symbol.[5]
Allah adalah obyek sentral bagi intuisi manusia. Dalam
diri Allah semua hal yang berlawanan mencapai kesatuan (coincidentia oppositorium). Dialah yang paling besar dan yang
paling kecil. Dialah yang ada dan tidak ada. Dialah satu dan banyak. Pendeknya,
Allah melampaui semua perlawanan yang dijumpai pada taraf entitas-entitas
berhingga.
Semua makhluk berhingga berasal dari Allah Sang
Pencipta. Dan segalanya yang ada akan kembali pula pada Penciptanya. Di sini
filsafat Nicolaus menjadi teologi, karena selaku orang Kristen, ia menganggapa
Yesus Kristus sebagai titik pusat alam semesta. Kembalinya segala sesuatu
kepada Allah berlangsung melalui Kristus.[6]
Nicolaus Cusanus
dipengaruhi oleh banyak ajaran dan pendirian yang mempunyai peranan dalam Abad
Pertengahan. Demikianlah Nicolaus telah mempersatukan seluruh pemikiran abad
pertengahan menjadi suatu sintese yang besar. Ia mempersatukan pemikiran
Augustinus dan Dionisius dari Areopagos serta pemikiran Johanes Scotus Eriugene
dan Thomas Aquinas. Sintesisnya menunjuk ke masa depan. Di dalamnya telah
tersirat pemikiran para Humanis penganut pahan Humanisme.[7]
3. Penutup
Kesimpulan
Menurut
Nicolaus ada 3 cara untuk mengenal, yaitu dengan indra, dengan akal dan secara
intuitif. Nicolaus Cusanus dipengaruhi oleh banyak ajaran dan pendirian yang
mempunyai peranan dalam Abad Pertengahan. Demikianlah Nicolaus telah
mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan menjadi suatu sintese yang
besar. Ia mempersatukan pemikiran Augustinus dan Dionisius dari Areopagos serta
pemikiran Johanes Scotus Eriugene dan Thomas Aquinas.
Daftar Pustaka
Hadiwijono Harun, Sari Sejarah
Filsafat Barat , 1990, Yogyakarta : PT.
Kanisius
Bertens. K, Ringkasan Sejarah Filsafat, 1998, Yogyakarta: PT. Kansius
Achmadi Asmoro, Filsafat Umum, 2012, Jakarta :
PT. Raja Grafindo
[1] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat ,
1990, Yogyakarta : PT. Kanisius, hlm. 118
[2] Asmoro
Achmadi, Filsafat Umum, 2012, Jakarta : PT. Raja
Grafindo, hlm. 79-80
[3] Prof. K.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, 1998,
Yogyakarta :
PT. Kansius, hlm. 42
[4] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat ,
1990, Yogyakarta : PT. Kanisius, hlm. 120
[5] Prof. K.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, 1998,
Yogyakarta :
PT. Kansius, hlm. 42
[6] Prof. K.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, 1998,
Yogyakarta :
PT. Kansius, hlm. 43
[7] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat ,
1990, Yogyakarta : PT. Kanisius, hlm. 121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar