Senin, 21 Desember 2015

fenomena syi'ah dan aswaja



1.      Latar Belakang Masalah
Mendengar kata syiah serta ahlussunnah mungkin sudah tak asing lagi bagi para pencari ilmu tentang wawasan ke-Islaman. Banyak pembahasan mengenai dua aliran yang sangat fenomenal sejak zaman awal kemunculan berbagai macam aliran dalam Islam, yang berkemelut sangat hebat dalam perbedaan pemahaman mengenai kalam Ilahi. Pada awal kemunculan adanya perbedaan ini dipenuhi dengan banyaknya argumen-argumen pembelaan mengenai aliran mereka yang dianggap benar oleh pengikut aliran-aliran tersebut.
Mereka menguatkan argumen-argumennya dengan banyak dalil yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mengenai banyak aliran yang timbul dalam sejarah pemikiran Islam, Ahlussunnah dan Syi’ahlah yang paling menonjol diantara bnyaknya aliran tersebut, aliran ahlussunnah dan syi’ah selalu berkembang hingga sekarang. Perselisihan dan berbeda dalam pemahaman mengenai hal furu’iyah dalam ke Islaman utamanya, namun tak luput juga mengenai ushuliyah dari segi pokok agama tak terlepas dari dialog kedua aliran tersebut.

2.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah di paparkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai masalah yang timbul di dalamnya, ialah “Bagaimana menanggapi fenomena syi’ah dan ahlussunnah ?”

3.      Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah dari rumusan masalah di atas, ialah “mendeskripsikan dan memaparkan mengenai fenomena syiah dan ahlussunnah”.

  
  

A.    Pembahasan
1.     Definisi Syi’ah dan Ahlussunnah
a.      Definisi  Syi’ah
            Syi’ah didefinisikan sebagai golongan islam yang mengikuti 12 imam dari ahlu bait (keluarga dan keturunan) Rosulullah melalui keturunan Ali dan anak-anak Fatimah putri kesayangan nabi istri Imam Ali, dalam semua urusan ibadah dan muamalah. Inilah definisi singkat tentang syi’ah yang sebenarnya.[1] Ada banyak ungkapan dan sebutan yag beredar dalam buku-buku musuh-musuh syiah tentang penyebutan syiah.diantara sebutan itu adalah Rafidhah yang berarti pembangkang. Pernyataan bahwa syiah Rafidhah sebenarnya lebih tepat jika ditunjukan kepada penguasa-penguasa pertama Bani Umayyah dan Ban Abasiyah untuk memuaskan kepentingan syahwat kekuasaan dan kepemimpinan mereka didunia, karena syiah pertama: mengangkat Ali dan keluarga Nabi sebagai pemimpinnya dan menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Kedua: menolak  seluruh khalifah Bani Umayyah dan Bani Abasiyah.[2] Dari sinilah dapat kita fahami bahwa syiah menolak pengangkatan khalifah yang ada dan menganggapnya sebagai perampasan terhadap hak Ahlu Bait. Sebagai ulama ahlu sunnah mengakui keabsahan pendapat ini. Ibnu Madzkur ketika mendefinisikan syiah, beliau mengatakan, “Syiah adalah golongan yang mengikuti dan mengakui ahlu bait Rasul sebagai imamnya.” [3]

b.      Definisi Ahlu Sunnah
            Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat islam yang menyandarkan amal ibadahnya kepada mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali. Dalam perkembangan berikutnya muncul gerakan syalafiah yang dilakukan Ibnu Taimiyah dan diteruskan oleh Muhammad Abdul Wahab dengan gerakan Wahabiyahnya yang sekarang menjadi mazhab resmi kerajaan Arab Saudi. Bahwa yang disebut dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah keompok yang mengakui khulafa Al-RAsyidin : Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sebagai khalifah yang syah setelah Nabi Wafat.[4]


Term ahlu sunnah wal jamaah ini keliatannya timbul sebagai reaksi terhadap faham-faham golongan mu’tazilah. Mungkin inilah yang menimbulkan term ahlu sunnah wal jamaah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.[5]

2.      Pandangan Mengenai Syi’ah dan Ahlussunnah
a.      Syiah dalam pandangan Ahlu Sunnah
        Dengan mengecualikan beberapa ulam Sunni kontenporer yang bersikap objektif dalam menilai syiah. Ulama sunni yang didukung penguasa sejak dahulu hingga sekarang tetap menulis Ahlu Bait dan Syiah dengan rasa penuh dengki, bahkan tidak jarang mengkafirkan syiah sebagaimana yang diperbuat jauh sebelumnya dizaman Muawiyah bin Abu Sufyan. Para penulis menuduh bahwa syiah adalah kelompok yang didirikan oleh Abdullah bin saba seorang yang konon beragama yahudi dan jauh lebih berbahaya dari orang yahudi itu sendiri. Dalam lain kesempatan mereka menuduh bahwa syiah adalah kelompok penyembah Ali dan para imam suci, munafik paling berbahaya dan memiliki Al-Qur’an lain selain Al-Qur’an yang ada sekarang. Seharusnya mereka yang mengaku Ahlu Sunnah Nabi harus mau bercermin pada Sunnah dan hadits-hadist Nabi yang mengajarkan etika pergaulan yang mulia.[6] Kalau mereka konsisten menjalankan Sunah Nabi seharusnya mereka tidak akan membiarkan (80th) cacian-cacian terhadap keluarga Nabi terus berlangsung dan tidak akan mengkafirkan orang yang telah bersyahadat, melaksanakan shalat, membayar zakat, melaksanakan puasa Ramadhan dan menunaikan ibadah haji.

b.      Ahlu Sunnah dalam pandangan Syiah
Dengan mengecualikan sebagai golongan fanatic dari syiah yang menilai bahwa saudara-saudara ahlu sunnah semuanya adalah Nawasib (orang yang memusuhi keluarga Rosul) maka mayoritas ulama syiah dulu dan sekarang meyakini bahwa pengikut kaum sunni sekarang ini tidak lain adalah korban dari politik tipu daya Bani Umayyah, akibat sikap “baik sangka” mereka terhadap golongan salaf terdahulu tanpa meneliti dan mengkaji secara mendalam kebenaran yang sesungguhnya.

Para ulama syiah berusaha untuk mengadakan kajian-kajian dan dialog-dialog denga pihak sunni seperti yang di lakukan oleh ayatullah syarafuddin Al-Musawi ketika berdiskusi denga syeikh salim al-bisri. Diskusi tersebut menghasilkan sebuah buku yang berjudul Al-Muraja’at dimana buku tersebut mempunyai peranan besar dalam upaya mendekatkan pengikut mazhab sunni dan syiah sekaligus meumbuhkan persepsi baru tentang syiah dalam pandangan sunni.[7]

3.      Sumber-sumber hukum dalam Syi’ah dan Ahlussunnah
a.      Sumber-sumber hukum dalam Syi’ah
Dalam penetapan masalah-masalah hukum Syi’ah mendasarkannya pada Rasulullah SAW, melalui filter saluran 12 imam Ahlu Bait yang suci. Dengan demikian pada hakikatnyaada dua sumber hukum dalam Syi’ah yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Di masa masih hidupnya para imam suci kalangan Syi’ah tidak mengenal Ijtihad dalam agama. Ungkapan para imam suci tersebut menunjukan secara jelas bahwa Syi’ah tidak pernah menempuh Ijtihad, Qiyas, maupun Istihsan dalam penerapan sumber-sumber hukumnya. Mereka hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai yang diajarkan Rasul SAW kepada 12 imam. Mereka juga, menolak penggunaan dalil Aqli dan Ijma.[8]

b.      Sumber-sumber hukum dalam Ahlussunnah
Ahlussunnah mengenal beberapa sumber hukum selain Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu:
1.      Sunnah Khulafa ar-Rasyidin
2.      Sunnah Sahabat
3.      Sunnah Tabi’in
4.      Sunnah Penguasa
5.      Qiyas, Istihsan, Istishab, Sad al-Dzara dan Ijma[9]






4.      Polemik antara Syi’ah dan Ahlussunnah
a.      Penyebab terjadinya Polemik
Diantara syi’ah dan Ahlussunnah, penyebab terjadinya polemik diantara keduanya, sehingga terjadinya perpecahan diantar ummatnya hingga sekarang ini. Tiada lain ialah, karena adanya perbedaan pendapat yang berhubungan dengan soal kepemimpinan umum atau Imamah. Soal imamah ini adalah penyebab utama yang secara langsung telah menimbulkan perpecahan selama ini.
Generasi demi generasi yang mempertentangkan soal Imamah ini telah menjadi demikian gandrung dan terbiasa dengan sikap fanatik dalam kelompoknya masing-masing, tanpa mau mengkaji dengan kepala yang dingin. Seharusnya kedua kelompok ini lebih rasional dalam menyikapi permasalahan ini, dengan cara meneliti dan mempelajari dalil-dalil kelompok lainnya secara kritis dan mendalam.[10]
Adapun perbedaan mengenai konsep Imamah ini, golongan Ahlussunnah mengakui dengan seluruh imamah yang telah berjalan selama ini, akan tetapi berbeda dengan Syi’ah. Syi’ah memandang konsep imamah, sebagai berikut:
1.      Konsep Imamah menurut Syi’ah sab’iyah
Ø  Konsep imamah yang berangkat dari dukungan terhadap Ali sebagai seorang yang paling berhak untuk kekuasaan politik saat itu.
Ø  Konsep imamah dari Ali dilanjutkan oleh imam berikutnya. Kelanjutan itu tidak dilakukan sembarangan atau tidak dilakukan seperti kebiasaan dalam penetapan khalifah yang pernah berlaku, tetapi dilakukan melalui cara tertentu yaitu dengan penunjukan (ta’yin) dalam garis waratsah (pewarisan).
Ø  Konsep imamiyah menggariskan bahwa “seorang imam memperoleh imamah dengan jalan waris dan seharusnya imam merupakan anak paling tua”
Dilihat dari ketentuan diatas, sab’iyah menganggap ismail adalah yang paling berhak sebagai imam ke 7 walaupun ia meninggal ketika ayahnya, imam ke 6 masih hidup.[11]


2.      Konsep imamah dalam syi’ah zaidiyah adalah dalam masalah imamah ini memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup jauh, baik dengan sab’iyah dan istna ‘asyariyah. Zaidiyah tampaknya lebih longgar dan lebih dekat dengan sunni.
3.      Golongan-golongan dalam paham syi’ah terdiri dari 5 golongan yaitu, Zaidiyah, Istna ‘Asyariyah disebut juga imamiyah, Kaisaniyah, ismailiyah disebut juga sab’iyah dan gullat. Dari 5 golongan yang masih hidup sampai saat ini hanya ada 3 golongan, yaitu Zaidiyah, ismailiyah dan istna ‘Asyariyah dan dari ke 3 kelompok ini, itsna ‘Asyariyah merupakan penganut mayoritas syiah.
Berlainan dengan sunni, kaum Syi’ah meyakini keimaman sebagai bagian dari rukun iman mereka. Syi’ah membagi rukun iman atas lima bagian, yaitu sebagai berikut:
·         Tauhid, yaitu percaya kepada Tuhan yang Maha Esa.
·         Al-Nubuwwah, yaitu percaya kepada kenabian Nabi Muhammad.
·         Al-Ma’ad, yaitu keimanan akan hari kebangkitan, percaya bahwa setiap orang akan hidup dalam alam yang akan dating. Di sana perbuatan masing-masing manusia akan ditimbang dan diganjar sesuai dengan amalnya.
·         Al-‘Adl, yaitu keimanan kepada keadilan Allah SWT.
·         Imam, yaitu percaya kepada imam.[12]

5.      Fenomena Terbaru antara syiah dan aswaja
Di Jawa Timur, peristiwa konflik bertema sunni-syiah baik yang terjadi di Jember maupun Sampang ini sepertinya sebuah kelanjutan mata rantai dari peristiwa serupa yang terjadi di berbagai daerah di tahun-tahun sebelumnya. Sebut saja, mulai dari penyerangan sekelompok massa terhadap para pengikut IJABI yang terjadi di Desa Jambesari Kecamatan Jambesari Darussolah Kabupaten Bondowoso, pada tanggal 23 Desember2006, insiden penyerangan pesantren YAPI yang berpaham syiah oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan laskar Aswaja ada tahun 2010-211 di Bangil Pasuruan dan ketegangan-ketengan berskala kecil yang terjadi Malang.

 Fenomena ini sungguh sangat menarik, dalam artian meskipun ajaran Syiah ini banyak tersebar di Indonesia dan juga pernah mengalam resistensi di daerah lain seperti di Pandeglang Provinsi Jawa Barat (6/2/2011) dan Temanggung Provinsi Jawa Tengah (8/2/2011) namun tidak separah dan sebesar di Jawa Timur. Di Provinsi ini, eskalasi konflik dengan isu Sunni-Syiah semakin tahun mengalami peningkatan dan resistensi tehadap ajaran syiah semakin menguat dan meluas di tengah masyarakat.

      Dengan demikian, maka sangatlah wajar bila kemudian muncul asumsi-asumsi konspiratif yang mengitari rentetan letusan konflik bertema Sunni-Syiah di Jawa Timur. Bahwa ada unsur kesengejaan untuk menciptakan dan memelihara konflik Sunni-Syiah yang melibatkan kekuatan transnasional. Pertanyaannya kemudian “ Benarkah ada keterlibatan kekuatan transnasional di balik konflik bertema Sunni-Syiah ini serta Mengapa percepatan dan penguatan konflik berada di Jawa Timur?”

      Adalah Dr. Michael Brant, salah seorang mantan tangan kanan direktur CIA, Bob Woodwards yang mengawali adanya kepentingan Transnasional dalam menciptakan konflik Sunni-Syiah. Dalam sebuah buku berjudul “A Plan to Devide and Destroy the Theology”, Michael mengungkapkan bahwa CIA telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta USD untuk melancarkan berbagai aktivitas anti-Syiah. Hal ini kemudian diperkuat oleh publikasi laporan RAND Corporation di tahun 2004, dengan judul “US Strategy in The Muslim World After 9/11". Laporan ini dengan jelas dan eksplisit menganjurkan untuk terus mengekploitasi perbedaan antara Ahlu Sunnah dan Syiah demi kepentingan AS di Timur Tengah. Kemenangan Revolusi Iran tahun 1979 telah menggagalkan politik-politik Barat yang sebelumnya menguasai kawasan negara Islam. Iran yang sebelumnya tunduk dan patuh terhadap AS, pasca revolusi, justru lebih banyak menampilkan sikap yang berseberangan dengan negeri “Paman Sam” itu. Karenanya, AS merasa berkepentingan untuk menjaga agar konflik Sunni-Syiah itu tetap ada di wilayah Timteng demi melanjutkan hegemoninya di kawasan tersebut.

      Fakta di lapangan menunjukkan bahwa apa yang dinyatakan oleh Michael Brant bukanlah sebagai sebuah halusinasi. Jauh sebelum revolusi Iran tahun 1979, sangat jarang ditemukan konflik terbuka antara Syiah dan Ahlus Sunnah, kecuali konflik yang bersifat sporadis di antara kelompok-kelompok kecil dari kedua kalangan di Irak, Libanon dan Suriah. Sementara itu, khusus di Indonesia, keberadaan kaum Syiah bukan barang baru. Syiah telah ada sejak dahulu kala. Namun, seperti layaknya secara umum, di Indonesia hampir tak pernah ditemui konflik sektarian yang melibatkan antara Sunni-Syiah. Karenanya bagi sebagian pengamat, sangatlah mengherankan jika tiba-tiba Sunni-Syiah turut mewarnai konflik bernuansa SARA di Indonesia. Bila kita tarik apa yang dinyatakan oleh Michael Brant tersebut ke ranah domestik, maka jelas ada kepentingan di luar SARA yang turut berperan -bahkan mengambil porsi lebih besar- dalam konflik Sunni-Syiah di Indonesia.

      Selanjutnya, di Indonesia kepentingan tranasional Barat ini bersimbiosis dengan kekuatan kelompok Islam transnasional yang kemudian banyak diidentikan dengan gerakan Wahabisasi Global. Tujuan utama kelompok ini adalah dengan membuat dan medukung kelompok-kelompok lokal untuk membuat wajah Islam lebih keras dan radikal serta berusaha memusnahkan pengamalan-pengamalan Islam yang lebih toleran yang lebih lama ada dan dominan di Indonesia. Kelompok ini berusaha keras untuk menginfiltrasi berbagai sendi kehidupan umat Islam Indonesia dalam beragam cara baik secara halus mapun kasar. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dalam pengantar buku Ilusi Negara Islam bahwa Gerakan asing Wahabi/Ikhwanul Muslimin dan kaki tangannya di Indonesia menggunakan petrodollar dalam jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah pun tidak ada. Mereka akan mudah menuduh kelompok Islam lain yang tidak sepaham dengan ajaran wahabi sebagai kafir, sesat dan murtad.
Analisis ini juga dikuatkan oleh sebuah realitas pergerakan politik di Timur Tengah, dikonflik Internasional kita lihat perang Saudara di Irak, Suriah, Pakistan dan Afgahnaistan semuanya ditarik pada perang antara Sunni dan Syiah, belum lagi ancaman serangan ke Iran yg notebene adalah pusat Syiah. Arab Saudi sebagai Poros Wahabi dunia ini sangat ingin punya pengaruh d Timur Tengah, namun kalah pamor dengan Iran yang lebih mempunyai Sumber Daya Alam maupun sumber daya manusia yang pintar-pintar, sejak jaman persia dahulu kala. Sedangkan di Indonesia sendiri, konflik Sunni-Syiah tidak mempunyai akar sejarah politik.

Rupanya kelompok Wahabisasi global ini pun memahami bahwa NU merupakan penghalang utama pencapaian target idiologis dan politik mereka. Sebagai organisasi Sunni terbesar di Indonesia selama ini NU begitu gencar dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam yang moderat, humanis dan toleran. Bahkan dalam pergaulan internasional di bidang keagamaan pemikiran-pemikiran NU berikut tokoh-tokohnya menjadi refrensi umat Islam dunia. Citra sebagai gerakan Islam moderat, diakui atau tidak, adalah milik NU. Praksis, upaya-upaya untuk mendiskreditkan, merusak citra NU sebagai organisasi kaum sunni dengan ajaran Islam yang lembut dan toleran kerap dilakukan salah satunya dengan membenturkan kaum Nahdliyin dengan kaum syii di Indonesia.

Untuk melakukannya lalu dipilihlah Jawa Timur sebagai lokasi pabrik yang memproduksi konflik-konflik bertema Sunni-Syiah. Pilihan ini sangatlah strategis, publik tahu bahwa Jawa Timur merupakan basis utama para penganut paham ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah . Di Jawa Timur lah, NU sebagai organisasi masyarakat terbesar di Indonesia yang berpahamkan Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dideklarasikan dan didirikan yang kemudian berkembang pesat dan cepat ke seluruh penjuru nusantara. Di Jawa Timur pulalah, dinamika pergerakan NU menjadi barometer politik nasional.

Di samping itu, pilihan lokasi konflik seperti Jember, Pasuruan, Malang dan Sampang juga bukan tanpa kalkulasi yang strategis. Publik pun tahu, bahwa di daerah-daerah tersebut karakter masyarakatnya sangat lekat dengan kultur Madura. Selain dikenal sebagai pengikut NU yang fanatik, masyarakat dengan kultur madura ini telah menjadikan Islam sebagai salah satu unsur penanda identitas etnik Madura. Sebagai unsur identitas etnik, agama merupakan bagian integral dari harga diri orang Madura.

Oleh karena itu, pelecehan terhadap ajaran agama atau perilaku yang tidak sesuai dengan agama, mengkritik kiai serta mengkritik perilaku keagamaan orang Madura, merupakan pelecehan terhadap harga diri orang Madura. Maka janganlah heran jika, warga Nahdliyin Madura dimanfaatkan dan mudah disulut sebagai pengobar api kerusuhan dengan isu sentimen beda aliran agama. Walhasil, eskalasi percepatan isu dan penguatan konflik terbesar berada di wilayah Madura dan Tapal Kuda dan jarang sekali berada di zona lainnya seperti pantura maupun zona matraman.[13]

B.    Penutup
a.      Kesimpulan
            Tiada suatu penyebab perpecahan diantara umat ini yang lebih hebat daripada perbedaab pendapat yang berhubungan dengan soal kepemimpinan umum atau imamah. Tiada bentrokan dalam Islam demi suatu prinsip agama. Generasi demi generasi yang mempertengkarkan soal imamah ini telah menjadi demikian heboh serta fenomenal sampai saat ini. Sikap fanatic yang ada dalam kelompok mereka masing-masing, serta mengambil kesimpulan bahwa kelompok lain salah tanpa melakukan kajian dan penelitian secara mendalam mengenai permasalahan yang menyebabkan perpecahan merek tersebut, menjadikan masalah ini tak kunjung sampai pada titik tengah kedua kedua kelompok, sehingga masalah tersebut selalu berlanjut hingga sekarang.

b.      Saran
            Seharusnya kita semua lebih pintar dalam melakukan penyimpulan dari setiap perbedaan, dan dapat lebih bijak dalam memandang sesuatu. Kaji terlebih dahulu masalah tersebut, secara kritis dan mendalam baru dapat menyimpulkan. Karena pada hakikatnya pada setiap perbedaan pasti ada banyak persamaan di dalamnya. Perbedaan itu indah, karena jika taman hanya terdiri dari satu jenis bunga tidak akan indah dilihat, akan tetapi jika taman terdiri dari berbagai macam jenis bunga maka akan semakin  lebih terlihat indah.

Daftar Pustaka

Afifi Fauzi dan Amin Nurdin. Sejarah pemikiran islam.2012.AMZAH.jakarta.
Al-Musawi Syarifuddin. Dialog Sunnah Syi’ah.1995. Mizan. Bandung.
Nasution Harun. Teologi islam. 1972. Jakarta: universitas Indonesia.
Tijani Muhammad. Al syiah ahlu sunah. 2007. Jakarta: El faraj publishing


[1] prof. dr. Muhammad Tijani. Al syiah ahlu sunah Jakarta: El faraj publishing. 2007. Hlm..30
[2] Ibid hlm 30-31
[3] Ibid hlm 33
[4] Ibid hlm 37
[5] Harun nasution. Teologi islam. Jakarta: universitas Indonesia. 1972. Hlm. 64
[6] prof. dr. Muhammad Tijani. Al syiah ahlu sunah Jakarta: El faraj publishing. 2007. Hlm 89-90
[7] Ibid hlm. 93-95
[8] Ibid hlm. 147-148
[9] Ibid hlm, 149-156
[10] A. Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah Syi’ah.1995. Mizan. Bandung. Hlm 4-5
[11] Amin Nurdin dan Afifi Fauzi. Sejarah pemikiran islam.2012.AMZAH.jakarta. hlm.166-167
[12] Ibid, hlm.180-182

Contoh Makalah Penelitian Ilmiah Muludan di Cirebon


Hasil gambar untuk muludan cirebon



A.    Latar Belakang
Pertama kali perayaan Maulid Nabi (Muludan) masuk dalam khazanah ke Islaman Nusantara, perayaan Maulid Nabi dimanfaatkan Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar dapat mengucapkan syahadatain atau dua kalimat syahadat sebagai pertanda memeluk agam Islam. Itulah sebabnya perayaan Maulid Nabi disebut perayaan syahadatain, dengan logat yang berbeda sehinnga dalam bahasa Jawa disebut sekaten.Seperti halnya dakwah Sunan Kalijaga melalui lakon atau cerita pewayangan yang di dalamnya memuat nilai-nilai ke-Islaman, dengan cerita pewayangan yang terkenal ialah Lakon carangan yang di dalam berisi lakon Layang Kalimasada ciptaan Sunan Kalijaga yang isinya diambil dari kalimat syahadat.[1]
Muludan merupakan selamtan terbesar sekaligus paling meriah yang pelaksanaanya mengacu pada penanggalan Jawa. Pada tanggal 12 Mulud, Nabi Muhammad SAW dilahirkan . Demi memperingti hari lahir Nabi Muhammad SAW, mak setiap tanggal 12 Mulud diadakan selamatan untuk memperingatinya sekaligus mendapatkan barakah darinya. Di kalngan masyarakat Jawa, selamatan ini kemudian lebih populer dengan sebutan Muludan.[2]
            Pada zaman Kesultanan Mataram, perayaan Maulid Nabi disebut Grebeg Mulud. Kata “grebeg” artinya mengikuti, yaitu mengikuti, mengikuti disini diartikan dengan mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keratn menuju masjid untuk mengikuti perayaan Maulid Nabi , lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Dengan Kesultanan Mataram waktu itu sebagai kerajaan Islam terbesar pada masanya, sehingga penyebaran peringatan Maulid Nabi ini pun tersebar keseluruh wilayah Nusantara, khususnya pulau Jawa hingga sampailah ke wilayah Cirebon. Melalui peran dari para wali Sanga tentunya, khusnya wilayah cirebon sendiri ialah Sunan Gunung Jati, yang juga termasuk Wali Sanga periode terakhir.[3]Kemudian berlanjut hingga ke wilayah Kekratonan Cirebon dan berkembang hingga Kelurahan Argasunya.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka penulis mengidentifikasi beberapa masalahnya yang akan menjadi titik pembahasan pada isi makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1.       Bagaimana sejarah serta proses terjadinya Muludan dari Kraton Cirebon hinggaga di Kelurahan Argasunya Kota Cirebon?
2.       Apa makna dan dampak dari Muludan yang dilakukan di Kelurahan Argasunya Kota Cirebon kepada masyarakat sekitar?


C.    Tujuan
Dari rumusan yang telah dipaparkan diatas maka penulis bertujuan dalam makalah ini untuk mengetahui titik pembahasan, sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui sejarah serta proses apa saja yang dilakukan dalam Muludan dari Kraton Cirebon hingga di Kelurahan Argasunya Kota Cirebon.
2.      Untuk mengetahui makna dan dampak dari Muludan yang dilakukan di Kelurahan Argasunya Kota Cirebon kepada masyarakat sekitar .

D.    Kegunaan
Adapun manfaat dan kegunaan dari adanya pelaksanaan Muludan di Jawa Cirebon terutama di Kelurahan Argasunya bagi kehidupan bermasyarakat, diantaranya yaitu :
1.      Mengetahui serta memahami makna hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
2.      Terjalinnya tali silaturahmi antar masyarakat serta berbagi kebahagiaan.
3.      Terciptanya keharmonisasiaan dalam kehidupan bermasyarakat.
4.      Terciptanya rasa syukur atas nikmat yang di berikan oleh Allah SWT.

E.     Pembahasan
1.      Sejarah singkat  munculnya tradisi MULUDAN di Kraton Cirebon
Muludan I
Tanggal 12 Rabiul Awal sudah kerutinan bagi umat Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia memperingati Maulid Nabi. Di Kota Cirebon Maulid Nabi lebih  populer dengan sebutan Muludan. Peringatan Muludan di Kota Cirebon terpusat di beberapa tempat di antaranya Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Di kedua keraton tersebut pada bulan maulid banyak sekali dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah, yang tentunya juga menarik para pedagang untuk berdagang di sekitar keraton tersebut. Sehingga selama ini atmosfer tradisi Muludan lebih identik dengan suasana pasar tahunan. Disebut dengan kata Muludan karena nama bulan itu sendiri, Mulud dalam penanggalan Jawa. Mulud diambil dari bahasa Arab “maulud” atau “maulid” yang berarti kelahiran, kelahiran di sini adalah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selamatan ini dapat dikatakan paling  teratur diadakan dibandingakan dengan bebagai jenis selamatan lainnya, seperti selamatan 27 Rejeb, selamatan 29 Ruwah dan lainnya[4]
Muludan di Kota Cirebon yang berawal dari ketidak adaan tontonan serta acara hiburan lainnya. Hanya ada orang yang menggelar dagangan berbentuk makanan dan minuman di bawah langit terbuka, akan tetapi lambat laun kemudian bermunculanlah stand/gubug dagangan makanan dan minuman, pada awal bulan mulud di sekitar alun-alun Kasepuhan dan Kanoman.[5]
Pada malam tanggal 8 bulan Mulud dipukullah gamelan sukhati di lemah duwur atau sitinggil Kraton Kanoman, kemudian dibukanya pintu gedunga barang-barang kuno Kraton Kesepuhan dan Kanoman untuk umum, kemudian ramailah gubug lumpang watu dikunjungi orang\orang sekitar untuk mengiring pelal kecil di sebuah langgar Keraton Kanoman. Sebuah upacara rasulan atau yang kini dikenal sebagi Muludan, berupa nasi kuning, lauk-pauknya, buah-buahan, dan bunga-bungaan di atas piring panjang kuna/pusaka (yang d\kemudian disebut “nasi jimat” atau “panjang jimat”) dengan membaca kitb barjanji dengan cara lama. Di sela-sela istirahat pemukulan gameln sukhati/sekati, tiap malam beberapa petugas di Cirebon bagian agama dulunya melakukan tabligh syahadatain atau syahadat kalimah dua dan santapan rokhani Islam. [6]
Sebagai puncaknya kemudian di setiap tanggal 12 Mulud diselenggarakan pengarakan secara besar-besaran yang disertai iring-iringan “Nasi Jimat” dan “Panjang Jimat” serta wakil sultan dan rombongan kelurganya melalui alun-alun Kanoman, yang selanjutnya dilakukan pembacan barjanji oleh para petugas-petugas agama yang mengenakan pakaian resmi dari jam 9 malam sampai 12 malam. Setelah itu arak-arakan kembali ke Kraton serta membagikan berkatnya kepada orang yang berkepentingan.Kenudian inilah yang merupakan asal mulanya Muludan di Kota Cirebon pada area Kraton.[7] Kemudin acara itu terus terlaksana hingga sekarang, yang kemudian seluruh warga Jawa Barat khususnya Cirebon pasti akan mengetahuinya, karena tradisi yang tlah dilakukan terus-menerus dan sosialisasi pemerintah yang tak pernah henti dalam menginformasikan seluruh kebudayaan serta tempat budaya yang ada di Cirebon.

2.      Sejarah serta ruang lingkup adanya tradisi Muludan di Keluarahan Argasunya.
Muludan II

Argasunya adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Indonesia. Kelurahan Argasunya yang memiliki penduduk 20.279 Jiwa dan Luas : 675 ha/m2.[8] Kelurahan ini dikenal sebagai wilayah “Kampung Budaya”, banyak sekali hal-hal yang perlu dikaji dalam Kelurahan ini khususnya kampung yang sangat fenomenal yaitu “Benda Kerep” sebagai salah satu kampunga yang pernah menolak PEMILU, serta masih teguh dalam memegang adat istiadat orang dulu, seperti, salah satunya yaitu menolak keberadaan TV dan kendaraan bermotor di kampungnya.[9]
         Berbicara tentang sejarah Benda Kerep maka tidak akan terlepas dengan sejarah-sejarah mistis yang meliputinya. Kampung Benda Kerep didirikan oleh Embah Soleh kira – kira kurang lebih 300 tahun yang lalu. Embah soleh berasal dari keturunan Keraton Kanoman yakni keturunan ke 13 dari Syek Sarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon. Namun ada persepsi lain yang mengatakan Embah Soleh adalah keturunan ke 12 dan keturunan ke 9.
        Sebelum menjadi kampung Benda Kerep wilayah ini dinamakan Cimeuweuh yang berasal dari bahasa sunda cai meuweuh yang mengandung terminologi ketika ada orang yang masuk ke wilayah Cimeuweuh maka orang tersebut hilang entah kemana tetapi menurut keyakinan masyarakat sekitar kemungkinan besar orang yang masuk kewilayah tersebut dibawa ke alam ghaib oleh sekelompok mahkluk ghaib penghuni wilayah Cimeuweuh. Kejadian yang lebih mencengangkan pohon – pohon rindang yang berada didalam wilayah Cimeuweuh mengandung unsur mistis yang luar biasa diluar jangkauan rasio dan ilmu pengetahuan fisika, yakni ketika pohon tersebut di tebas atau ditebang pohon itu akan mengeluarkan darah dan menjerit layaknya mahkluk hidup bernyawa. Kejadian-kejadian ghaib yang sering terjadi dihutan belantara Cimeuweuh ini mengundang perhatian besar dari kalangan bangsa Kraton Kanoman yang kemudian hutan belantara yang masih milik tanah kraton ini dinamakanCimeuweuh.
         Melihat hal-hal yang ganjil didaerah hutan belantara yang masih dimiliki oleh Kraton kanoman tersebut, pada akhirnya banyak orang-orang sakti mandraguna baik dari kalangan kraton ataupun dari luar kerajaan yang ingin mencoba kesaktiannya untuk menaklukan daerah Cimeweuh dari pengaruh-pengaruh ghaib, diantaranya menurut informasi yang kami dapat yaitu Embah Layaman, seorang sakti mandaraguna yang memiliki ilmu kanuragan tinggi serta menguasai ilmu agama secara lues, berasal dari daerah solo dan diangkat menjadi penasehat kesultanan karena kesaktian dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Beliau mencoba datang ke cimeuweuh dengan maksud mengusir makhluk-makhluk ghaib serta menaklukan daerah cimeuweuh dari berbagai pengaruhnya, setelah Embah Layaman datang ke Cimeuweuh Beliau mencoba memulainya dengan mengeluarkan berbagai ilmu kesaktiannya untuk menaklukan para penghuni gahib. Usaha demi usaha telah dilakukan tapi ternyata tuhan berkehendak lain , Embah Layaman tidak mampu atau gagal menaklukan wilayah Cimeuweuh dan para penghuninya pada akhirnya dalam keadaan pasrah dan menerima apa adanya beliau berjalan menuju Kali Lunyu beliau bermukim disana dan mendirikan sebuah Masjid. Sampai sekarang masjid di Kali Lunyu masih berdiri dengan kokoh sampai sekarang di sana.
       Pada tahap berikutnya Embah Soleh sendiri yang hidup pada masa K. Asy’ari (pendiri pesantren Tebu Ireng dan ayah dari hasyim asy’ari [-+ th. 1826 M.]) sebelumnya telah mendirikan pesantern tempat menimba ilmu dan menetap di Situ Patok, bersama sahabatnya K. Anwarudin kemudian beliau pindah ke desa Kegunung di daerah Sumber cirebon serta mendirikan pesantren pula di Kegunung. Riwayat tentang K. Anwarudin menurut informasi yang kami dapat adalah sahabat dekat Embah Soleh guru dari keduanya adalah K. Baha’udin dari Manafizaha tetapi persi lainpun mengatakan K. Anwarudin yang lebih dikenal dengan pangeran Klayan tersebut adalah paman sekaligus guru dari embah soleh.
Melalui perjalanan yang begitu panjang di Kegunung, K. Anwarudin mendapat sebuah petunjuk bahwasannya Embah Soleh yang memegang teguh terhadap ilmu tasawuf  ini harus pindah ke Cimeuweuh dan harus menaklukan pengaruh – pegaruh gaib yang mengelilinginya. K. Anwarudin berfirasat bahwa daerah sumber, suatu saat kelak akan menjadi pusat pemerintahan wilayah Cirebon dan itu akan memberikan dampak besar untuk keselamatan anak cucu Embah Soleh dan ketasawufan serta tidak cocok untuk menyembunyikan anak cucu dari keramaian. Berawal dari petunjuk K. Anwarudin, akhirnya Embah Soleh bersama K. Anwarudin bertolak menuju tanah Cimeuweuh dengan niatan menaklukan tanah tersebut dari gangguan-ganguan ghaib. Sesampainya disana, embah soleh dan K.Anwarudin bermunajat dan berdo’a kepada Allah SWT. Memohon pertolongan dan keselamatan dari hawa-hawa ghaib, entah apa yang terjadi berkat kesucian dan karomah yang dimilikinya dengan sekilas para penghuni gaib diwilayah Cimeuweuh takluk kepada embah soleh dan menyingkir dari tanah Cimeuweh. Sementara itu keterangan yang kami peroleh dari K. Miftah Putra K. Faqih atau keturunan ke empat dari embah soleh, ketika proses penaklukan makhluk ghaib di Cimeuweuh semua makhluk ghaib di Cimeuweuh takluk dan bersedia berinjak dari tanah Cimeuweuh, tapi ada dua makhluk ghaib yang tidak mau berinjak dari tanah Cimeuwuh yaitu seekor Macan ghaib dan seekor Ular ghaib yang sebelumnya ular ghaib tersebut ada tiga, yang dua pergi dan yang satu menetap, dengan mengadakan sebuah perjanjian bahwa seekor Macan dan Ular ghaib tersebut berjanji akan melindungi dan menjaga anak cucu keturunan Embah Soleh dari hal-hal negative yang membahayakan keturunan Embah Soleh. Pernyataan ini dibenarkan juga oleh k. Muhammad Nuh menantu K . Hasan bin K. Abu Bakar bin Embah Soleh, bahkan menurut pernyataan K. Muhammad Nuh sampai sekarang masyarakat Benda Kerep sering melihat penampakan seekor Macan Putih dengan loreng hitam disekitar Cimeuweuh/benda kerep dan diwaktu yang berbeda masyarakat pula sering melihat penampakan seekor Ular Besar.
      Singkat cerita, setelah tanah cimeuweuh ditaklukan, akhirnya kabar penaklukan tanah cimeuweuh oleh embah soleh terdengar juga oleh Sultan Zulkarnaen (Raja Kraton Kanoman pada masa itu), mendengar berita yang baik itu, tanah Cimeuweuh yang masih milik Kraton Kanoman itu ahkirnya dihibahkan oleh Sultan Zulkarnaen kepada embah soleh dengan memasrahkan segalnya asal tanah Cimeuwuh dijadikan sebagi sumber cahaya dan pusat penyebaran agama Allah Swt. Waktu berputar perlahan tapi pasti, Embah Solehpun mulai menetap di Cimeuweuh bersama istri pertamanya Nyai Menah dari Pekalongan, pada masa permulaan beliau mendirikan sebuah kranggon (pohon besar yang dikasih papan kayu. Red.) sebagai tempat tinggal sementara.Kemudian nama Cimeuweuh diganti dengan nama Benda Kerep karena di tanah Cimeuweuh terdapat pohon Benda (pohon dan buahnya kaya semacan sukun) dan pohon tersebut banyak sekali (Kerep[bahasa jawa]) dengan alasan itulah Cimeuweuh diganti menjadi Benda Kerep, Sekarang cimeuweuh sirna dan benda kerep pun lahir. Keberadaan Benda Kerep sebagai wajah baru dari tanah Cimeuweuh tentunya telah mengundang berbagai perhatian dari berbagai penjuru masyarakat Cirebon terlebih disitu terdapat orang mulia, sakti mandraguna dan mempunyai wawasan kelimuan yang tinggi dan berakhlak mulia, selalu memegang teguh prinsif-prinsif aqidah dan bersandar pada ajaran tasawuf sebagai implementasi dari ajaran islam sesungguhnya.
Banyak dari kalangan masyarakat cirebon khususnya dari daerah tetangga benda kerep yang berniat untuk belajar dan berguru kepada embah soleh, “Lama-Lama Menjadi Bukit” begitulah mungkin yang dirasakan oleh embah soleh tanpa terasa yang semula hanya berdua bersama isrinya kini telah banyak yang menemani embah soleh sebagai muridnya dan embah soleh pun semakin serius untuk membumikan ajara islam di tanah Benda Kerep.
Pada
kelanjutan regenerasinya, tempat tinggal Embah Soleh bersama istrinya yang semulanya adalah tempat kranggon, agar lebih memberikan kenyamanan dalam berumah tangga akhirnya embah soleh yang dibantu bersama murid-muridnya membangun sebuah rumah sederhana sebagai tempat tinggal yang memberikan sebuah kenyamanan, pada akhirnya proses pembangunan rumah tersebut telah memberikan warna sejarah tersendiri bagi benda kerep, yakni rumah yang dibangun oleh embah soleh adalah rumah pertama di kampung benda kerep dan rumah tersebut sampai sekarang masih berdiri kokoh namun telah mengalami berbagai renofasi, yang kemudian sekarang menjadi tempat tinggal K. Faqih cucu Embah Soleh dari K. Abu Bakar.
  Melalui hikmah kewalian Embah Soleh, benda kerep yang dahulunya penuh dengan aura mistis kini mulai tampak cahaya-cahaya islam yang bersinar disetiap penjuru kampong benda kerep, proses pengajaran agama islam berjalan dengan sempurna, ayat-ayat suci Al-Quran kian berkumandang ditengah-tengah hutan belantara benda kerep, aplikasi ajaran islam yang selalu menyentuh nila-nilai sikap dan moralitas begitu melekat dalam setiap individu yang berdomoisili di kampong benda kerep, namun disisi lain batin Embah Soleh mulai terusik seolah-olah hampa terasa dan ada yang belum lengakp dalam kehidupan embah soleh, kegelisahan ini mulai terasa karena melihat istrinya yang tak kunjung menghasilkan keturunan padahal seyogyanya peranan anak cucu itu sangat urgen sekali sebagai regenerasi atau penerus perjuangan Embah Soleh dalam menegakkan syariat islam ditanah nusantara kampung benda kerep pada khususnya. Melalui proses perenungan yang begitu panjang dengan diiringi do’a dan restu dari istri pertamanya, akhirnya beliaupun mengambil sebuah keputusan untuk menikah lagi, disuntinglah Nyai Merah dari Manafizaha cirebon sebagai istri keduanya. Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Merah dari Manafizaha Cirebon ternyata cita-cita embah soleh untuk mempunyai keturunan dikabulkan oleh Allah SWT. Nyai Merah telah memberikan dua orang putra da satu putri. yang pertama adalah Embah Muslim atau K. Muslim, putra keduanya adalah K. Abu Bakar dan yang ketiga adalah Nyai Qona’ah.
Demikian sekilas tentang sejarah singkat benda kerep mengenai kapan tahun wafatnya Embah Soleh dari berbagi sumber tidak kami peroleh kepastian sedikitpun, namun mengenai peringatan haul nya Embah Soleh yang jatuh pda bulan dzulhijah  atau bulan haji kemudian berlanjut pada bulan mulud  peringatan Muludan dapat kami peroleh dengan pasti yaitu sudah ke 283 jadi dari informasi jumlah peringatan haul serta Muludan yang sudah dilaksanakan bisa diambil kemungkinan wafatnya Embah Soleh pada tahun 1727 M. dengan rumus 2010-283= 1727.[10]
Dari sinilah kemudian Muludan di kelurahan Argasunya kemudian berkembang dan berbeda dari kampung atau kelurahan lainnya, karena prosesi Muludan di kelurahan Argasunya digelar bergilir namun serempak di seluruh kampung yang sudah mendapatkan giliran untuk mengadakan acara tersebut, berdasarkan waktu yang telah ditentukan, yang keumumannya  dilaksanakan pada waktu pagi, ba’da asar, dan Malam hari ba’da isya.[11]


Analisis
Kemudian dari hal seperti inilah, perayaan acara Muludan kemudian dapat dikatakan berbeda dari daerah lainnya atau bahkan wilayah kraton sendiri. Dari hal seperti inilah kemudian menjadi sebuah kultur budaya yang berbeda, yang menjadikan sebuah keunikan dan kearifan lokal darinya.

3.      Prosesi Muludan di Kelurahan Argasunya
Muludan III
 Pada hari pelaksanaan Muludan biasanya ditandai dengan rentetan ledakan beldogan atau petasan serta letusan  puluhan kembang api yang merubah warna langit menjadi berwarna-warni, yang menndakan acara kan dimulai. Dari anak-anak hingga dewasa, dari rakyat biasa hingga para Kiai yang dianggap luar biasa ikut kempul bercampur baur demi meramaikan Islam serta utamanya memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.[12]
Tanpa harus menunggu instruksi dari Kiai atau tokoh masyarakat lainnya, yang ada di Kelurahan Argasunya, warga sangat santusias dalam menyediakan aneka makanan (panganan) dan minuman untuk dihidangkan dalam perayaan maulid Nabi Muhamad SAW demi memperoleh sebuah keberkahan dan pahala dari setiap makanan dan minuman yang mereka hidangkan. Barakah mengandung arti yang bermacam-macam, ada yang mengatakan sesuatu yang ditambah ataupun sesuatu yang tidak dapat diraba.[13] Makanan maupun minuman yang tidak setiap hari tergeletak di meja sarapan pagi, bisa keluar begitu saja di perayaan maulid sebagai berkat. Penganan basah maupun kering khas di lingkungan masing-masing, mengobati kerinduan mereka pada makanan-makanan langka tersebut. Panganan siap lahap antara lain adalah kue pisang, gemblong,  uli, ketan, lemper, dan lainnya. Kecuali itu, perayaan maulid juga dihadiri aneka buah-buahan baik yang panen musim setahun sekali atau lebih.
 Dalam menyajikan hidangan maulid, warga sekenanya saja mengemas berkat. Kemasan yang dipakai berupa daun pisang, plastik, kertas nasi, hingga daun jati. Ada juga yang menggabungkan antara plastik dan daun pisang. Bahkan, ada pula yang membungkus makanan dalam keranjang kecil atau cetting, keranjang buah, ember, dan Langseng[14] . Itu sah-sah saja jika ditinjau dari hukum agama.
Isi berkat tentu saja bukan urusan kiai apalagi jajaran perangkat desa. Isi berkat ditentukan oleh individu masyarakat sendiri. Nasi boleh sama. Perkara lauknya, itu putusan yang tidak akan pernah bulat hingga hari Kiamat. Lauk berkat boleh daging kambing, sapi, ikan bandeng, ikan emas, ikan mujahir, ayam atau telurnya. Boleh jadi daging itu  juga dimasak dengan berbagai model seperti digoreng, semur, rendang, atau dendeng. Untuk ayam, ada kekhususan sedikit selain aneka model di atas, seperti yang mungkin juga dapat disebut sebuah keharusan ialah ayam panggang utuh bekakak ayam. Warga argasunya  juga kerap menyajikannya dalam bentuk dimasak ataupun mentahan[15] yang pasti, nasi itu tidak dibiarkan sendirian. Akan terlihat janggal kalau nasi putih sendirian mendekam di dalam berkat. Kemudian makanan yang disusun dengan bentuk bertingkat berisikan makanan ringan beserta buah-buahan dan minuman berbentuk botol yang sering disebut uter. Selanjutnya acara ini berakhir dengan penuh kebahagiaan dan berjalan dengan sangat khidmat. Diseluruh rumah dalam sebuah kampung yang biasanya dalam pelaksaanan Muludan tersebut dipimpin oleh kiai yang telah mereka percayai, yang biasanya merupakan guru dari salah satu keluarganya.[16]

F.     Kesimpulan
         
Dari hasil penelitian serta pengetahuan yang saya dapatkan dari bcaan buku-buku mengenai ruang lingkup pembahasan muludan tersebut, yang kemudian menjadi sebuah tradisi serta kebudayaan yang menjadi sebuah keunikan serta kearifan budaya lokal dari dulu hingga era kekinian di daerah Cirebon khususnya masyarakat Argasunya. Maka dapat disimpulkan bahwa dari seluruh prosesi serta sejarah yang saya dapatkan, tradisi muludan ini merupakan sesuatu daya tarik atau sebuah bentuk penghormatan masyarakat yang timbul karena kesadarannya sendiri tanpa paksaan siapapun yang akhirnya peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, terus terjaga hingga sekarang walaupun dilihat dari segi ekonomis yang saya ketahui tidak sedikit untuk melaksanakan muludan ini. Karena biasanya dilakukan secara bergotong royong dalam pengadaan dananya, namun sangat berbeda yang dilakukan masyarakat Kelurahan Argasunya, mereka melakukan muludan dirumah-rumah mereka sendiri yang dilakukan secara serempak. Mereka melakukan semua itu selain sebuah tradisi, namun yang paling utama dari pelaksanaan ini masyarakat Argasunya hakikatnya mengharapkan sebuah syafaat serta keberkahan dari apa yang  telah mereka usahakan, baik dari segi tenaga, fikiran, maupun dari barang-barang yang telah mereka usahakan darinya sehingga menjadi sebuah berkat yng kemudian dimakan oleh semua orang yang hadir di muludan dan menjadi sebuah sedekah makanan.[17]

Daftar Pustaka
Ngabdurohman al-Jawi dan Abdul manan, Tradisi amaliah Nu & dalil-dalilnya,Jakarta: LTM    PBNU
P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, PN. Balai Pustaka
Rizem Aizid, 2015, Islam Abangan dan Kehidupannya, Yogyakarta:Dipta


[1] Rizem Aizid, 2015, Islam Abangan dan Kehidupannya, Yogyakarta:Dipta, hlm. 55
[2] Rizem Aizid, 2015, Islam Abangan dan Kehidupannya, Yogyakarta:Dipta, hlm. 158
[3] Rizem Aizid, 2015, Islam Abangan dan Kehidupannya, Yogyakarta:Dipta, hlm. 76
[4] Rizem Aizid, 2015, Islam Abangan dan Kehidupannya, Yogyakarta:Dipta, hlm. 158
[5]P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, PN. Balai Pustaka, hlm. 50
[6] P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, PN. Balai Pustaka, hlm. 50-51
[7] P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, PN. Balai Pustaka, hlm. 51
[8] BPMPPKB
[9] Percakapan bersama Lurah Argasunya, tanggal 23-11-2015
[10] Percakapan bersama keturunan ke-5 Mbah Soleh (Kang Maesur dan Kang Dulloh sebgai mantu) yang digabungkan dengan data dari K.H. Faqihudin.

[11] Penelitian di lapangan serta percakapan bersama para warga kampung.
[12] Hasil penelitian tersendiri, karena saya tinggal di lingkungan tersebut. (3 Tahun)
[13] Ngabdurohman al-Jawi dan Abdul manan, Tradisi amaliah Nu & dalil-dalilnya,Jakarta: LTM PBNU, hlm. 31
[14] Tempat memasak beras, tempo dulu.
[15] Bahan makanan yang belum masak
[16] Hasil penelitian langsung di lapangan. Tanggal 17-12-2015.
[17] Hasil dari percakapan bersama K. Maesur serta Kiai lainnya yang telah saya temuai dan tanyakan mengenai apa tujuan dari muludan serta buku Tradisi amaliah Nu & dalil-dalilnya.