1.
Latar Belakang Masalah
Mendengar kata syiah
serta ahlussunnah mungkin sudah
tak asing lagi bagi para pencari ilmu tentang wawasan ke-Islaman. Banyak
pembahasan mengenai dua aliran yang sangat fenomenal sejak zaman awal
kemunculan berbagai macam aliran dalam Islam, yang berkemelut sangat hebat
dalam perbedaan pemahaman mengenai kalam Ilahi.
Pada awal kemunculan adanya perbedaan ini dipenuhi dengan banyaknya
argumen-argumen pembelaan mengenai aliran mereka yang dianggap benar oleh
pengikut aliran-aliran tersebut.
Mereka menguatkan argumen-argumennya dengan banyak
dalil yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mengenai banyak aliran yang
timbul dalam sejarah pemikiran Islam, Ahlussunnah dan Syi’ahlah yang paling
menonjol diantara bnyaknya aliran tersebut, aliran ahlussunnah dan syi’ah selalu
berkembang hingga sekarang. Perselisihan dan berbeda dalam pemahaman mengenai
hal furu’iyah dalam ke Islaman
utamanya, namun tak luput juga mengenai ushuliyah
dari segi pokok agama tak terlepas dari dialog kedua aliran tersebut.
2.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah di paparkan di
atas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai masalah yang timbul di dalamnya,
ialah “Bagaimana menanggapi fenomena syi’ah dan ahlussunnah ?”
3.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah dari rumusan masalah di atas,
ialah “mendeskripsikan dan memaparkan mengenai fenomena syiah dan ahlussunnah”.
A. Pembahasan
1.
Definisi Syi’ah dan
Ahlussunnah
a.
Definisi Syi’ah
Syi’ah didefinisikan
sebagai golongan islam yang mengikuti 12 imam dari ahlu bait (keluarga dan
keturunan) Rosulullah melalui keturunan Ali dan anak-anak Fatimah putri
kesayangan nabi istri Imam Ali, dalam semua urusan ibadah dan muamalah. Inilah
definisi singkat tentang syi’ah yang sebenarnya.[1]
Ada banyak ungkapan dan sebutan yag beredar dalam buku-buku musuh-musuh syiah
tentang penyebutan syiah.diantara sebutan itu adalah Rafidhah yang berarti pembangkang. Pernyataan bahwa syiah Rafidhah sebenarnya lebih tepat jika
ditunjukan kepada penguasa-penguasa pertama Bani Umayyah dan Ban Abasiyah untuk
memuaskan kepentingan syahwat kekuasaan dan kepemimpinan mereka didunia, karena
syiah pertama: mengangkat Ali dan keluarga Nabi sebagai pemimpinnya dan menolak
kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Kedua: menolak seluruh khalifah Bani Umayyah dan Bani
Abasiyah.[2]
Dari sinilah dapat kita fahami bahwa syiah menolak pengangkatan khalifah yang
ada dan menganggapnya sebagai perampasan terhadap hak Ahlu Bait. Sebagai ulama
ahlu sunnah mengakui keabsahan pendapat ini. Ibnu Madzkur ketika mendefinisikan
syiah, beliau mengatakan, “Syiah adalah golongan yang mengikuti dan mengakui
ahlu bait Rasul sebagai imamnya.” [3]
b.
Definisi Ahlu Sunnah
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat islam
yang menyandarkan amal ibadahnya kepada mazhab yang empat: Hanafi, Maliki,
Syafi’I, dan Hambali. Dalam perkembangan berikutnya muncul gerakan syalafiah
yang dilakukan Ibnu Taimiyah dan diteruskan oleh Muhammad Abdul Wahab dengan
gerakan Wahabiyahnya yang sekarang menjadi mazhab resmi kerajaan Arab Saudi.
Bahwa yang disebut dengan Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah keompok yang mengakui
khulafa Al-RAsyidin : Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sebagai khalifah yang syah
setelah Nabi Wafat.[4]
Term ahlu sunnah wal jamaah ini keliatannya timbul
sebagai reaksi terhadap faham-faham golongan mu’tazilah. Mungkin inilah yang
menimbulkan term ahlu sunnah wal jamaah, yaitu golongan yang berpegang pada
sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan mu’tazilah yang
bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.[5]
2.
Pandangan Mengenai Syi’ah
dan Ahlussunnah
a.
Syiah dalam pandangan Ahlu
Sunnah
Dengan mengecualikan
beberapa ulam Sunni kontenporer yang bersikap objektif dalam menilai syiah.
Ulama sunni yang didukung penguasa sejak dahulu hingga sekarang tetap menulis
Ahlu Bait dan Syiah dengan rasa penuh dengki, bahkan tidak jarang mengkafirkan syiah
sebagaimana yang diperbuat jauh sebelumnya dizaman Muawiyah bin Abu Sufyan.
Para penulis menuduh bahwa syiah adalah kelompok yang didirikan oleh Abdullah
bin saba seorang yang konon beragama yahudi dan jauh lebih berbahaya dari orang
yahudi itu sendiri. Dalam lain kesempatan mereka menuduh bahwa syiah adalah
kelompok penyembah Ali dan para imam suci, munafik paling berbahaya dan
memiliki Al-Qur’an lain selain Al-Qur’an yang ada sekarang. Seharusnya mereka
yang mengaku Ahlu Sunnah Nabi harus mau bercermin pada Sunnah dan hadits-hadist
Nabi yang mengajarkan etika pergaulan yang mulia.[6]
Kalau mereka konsisten menjalankan Sunah Nabi seharusnya mereka tidak akan
membiarkan (80th) cacian-cacian terhadap keluarga Nabi terus
berlangsung dan tidak akan mengkafirkan orang yang telah bersyahadat,
melaksanakan shalat, membayar zakat, melaksanakan puasa Ramadhan dan menunaikan
ibadah haji.
b.
Ahlu Sunnah dalam
pandangan Syiah
Dengan mengecualikan sebagai golongan fanatic dari
syiah yang menilai bahwa saudara-saudara ahlu sunnah semuanya adalah Nawasib (orang yang memusuhi keluarga
Rosul) maka mayoritas ulama syiah dulu dan sekarang meyakini bahwa pengikut
kaum sunni sekarang ini tidak lain adalah korban dari politik tipu daya Bani
Umayyah, akibat sikap “baik sangka” mereka terhadap golongan salaf terdahulu
tanpa meneliti dan mengkaji secara mendalam kebenaran yang sesungguhnya.
Para ulama syiah berusaha untuk mengadakan kajian-kajian
dan dialog-dialog denga pihak sunni seperti yang di lakukan oleh ayatullah
syarafuddin Al-Musawi ketika berdiskusi denga syeikh salim al-bisri. Diskusi
tersebut menghasilkan sebuah buku yang berjudul Al-Muraja’at dimana buku tersebut mempunyai peranan besar dalam
upaya mendekatkan pengikut mazhab sunni dan syiah sekaligus meumbuhkan persepsi
baru tentang syiah dalam pandangan sunni.[7]
3. Sumber-sumber hukum dalam Syi’ah dan Ahlussunnah
a.
Sumber-sumber hukum dalam
Syi’ah
Dalam penetapan masalah-masalah hukum Syi’ah
mendasarkannya pada Rasulullah SAW, melalui filter saluran 12 imam Ahlu Bait
yang suci. Dengan demikian pada hakikatnyaada dua sumber hukum dalam Syi’ah
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Di masa masih hidupnya para imam suci kalangan Syi’ah
tidak mengenal Ijtihad dalam agama. Ungkapan para imam suci tersebut menunjukan
secara jelas bahwa Syi’ah tidak pernah menempuh Ijtihad, Qiyas, maupun Istihsan
dalam penerapan sumber-sumber hukumnya. Mereka hanya berpegang teguh pada
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai yang diajarkan Rasul SAW kepada 12 imam. Mereka
juga, menolak penggunaan dalil Aqli dan Ijma.[8]
b.
Sumber-sumber hukum dalam
Ahlussunnah
Ahlussunnah mengenal beberapa sumber hukum selain
Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu:
1. Sunnah Khulafa ar-Rasyidin
2. Sunnah Sahabat
3. Sunnah Tabi’in
4. Sunnah Penguasa
5. Qiyas, Istihsan, Istishab,
Sad al-Dzara dan Ijma[9]
4.
Polemik antara Syi’ah dan
Ahlussunnah
a.
Penyebab terjadinya
Polemik
Diantara syi’ah dan Ahlussunnah, penyebab terjadinya
polemik diantara keduanya, sehingga terjadinya perpecahan diantar ummatnya
hingga sekarang ini. Tiada lain ialah, karena adanya perbedaan pendapat yang
berhubungan dengan soal kepemimpinan umum atau Imamah. Soal imamah ini
adalah penyebab utama yang secara langsung telah menimbulkan perpecahan selama
ini.
Generasi demi generasi yang mempertentangkan soal Imamah ini telah menjadi demikian
gandrung dan terbiasa dengan sikap fanatik dalam kelompoknya masing-masing,
tanpa mau mengkaji dengan kepala yang dingin. Seharusnya kedua kelompok ini
lebih rasional dalam menyikapi permasalahan ini, dengan cara meneliti dan
mempelajari dalil-dalil kelompok lainnya secara kritis dan mendalam.[10]
Adapun perbedaan mengenai konsep Imamah
ini, golongan Ahlussunnah mengakui dengan seluruh imamah yang telah berjalan selama ini, akan tetapi berbeda dengan
Syi’ah. Syi’ah memandang konsep imamah, sebagai
berikut:
1. Konsep Imamah menurut
Syi’ah sab’iyah
Ø Konsep imamah yang
berangkat dari dukungan terhadap Ali sebagai seorang yang paling berhak untuk
kekuasaan politik saat itu.
Ø Konsep imamah dari Ali
dilanjutkan oleh imam berikutnya. Kelanjutan itu tidak dilakukan sembarangan
atau tidak dilakukan seperti kebiasaan dalam penetapan khalifah yang pernah
berlaku, tetapi dilakukan melalui cara tertentu yaitu dengan penunjukan (ta’yin) dalam garis waratsah (pewarisan).
Ø Konsep imamiyah
menggariskan bahwa “seorang imam memperoleh imamah dengan jalan waris dan
seharusnya imam merupakan anak paling tua”
Dilihat dari ketentuan
diatas, sab’iyah menganggap ismail adalah yang paling berhak sebagai imam ke 7
walaupun ia meninggal ketika ayahnya, imam ke 6 masih hidup.[11]
2. Konsep imamah dalam syi’ah
zaidiyah adalah dalam masalah imamah ini memiliki perbedaan-perbedaan yang
cukup jauh, baik dengan sab’iyah dan istna ‘asyariyah. Zaidiyah tampaknya lebih
longgar dan lebih dekat dengan sunni.
3. Golongan-golongan dalam
paham syi’ah terdiri dari 5 golongan yaitu, Zaidiyah, Istna ‘Asyariyah disebut
juga imamiyah, Kaisaniyah, ismailiyah disebut juga sab’iyah dan gullat. Dari 5
golongan yang masih hidup sampai saat ini hanya ada 3 golongan, yaitu Zaidiyah,
ismailiyah dan istna ‘Asyariyah dan dari ke 3 kelompok ini, itsna ‘Asyariyah merupakan
penganut mayoritas syiah.
Berlainan dengan sunni, kaum Syi’ah meyakini keimaman sebagai bagian dari
rukun iman mereka. Syi’ah membagi rukun iman atas lima bagian, yaitu sebagai
berikut:
·
Tauhid, yaitu percaya kepada Tuhan
yang Maha Esa.
·
Al-Nubuwwah, yaitu percaya kepada
kenabian Nabi Muhammad.
·
Al-Ma’ad, yaitu keimanan akan hari
kebangkitan, percaya bahwa setiap orang akan hidup dalam alam yang akan dating.
Di sana perbuatan masing-masing manusia akan ditimbang dan diganjar sesuai
dengan amalnya.
·
Al-‘Adl, yaitu keimanan kepada
keadilan Allah SWT.
5.
Fenomena Terbaru antara syiah
dan aswaja
Di Jawa Timur,
peristiwa konflik bertema sunni-syiah baik yang terjadi di Jember maupun
Sampang ini sepertinya sebuah kelanjutan mata rantai dari peristiwa serupa yang
terjadi di berbagai daerah di tahun-tahun sebelumnya. Sebut saja, mulai dari
penyerangan sekelompok massa terhadap para pengikut IJABI yang terjadi di Desa
Jambesari Kecamatan Jambesari Darussolah Kabupaten Bondowoso, pada tanggal 23
Desember2006, insiden penyerangan pesantren YAPI yang berpaham syiah oleh
sekelompok orang yang mengatasnamakan laskar Aswaja ada tahun 2010-211 di
Bangil Pasuruan dan ketegangan-ketengan berskala kecil yang terjadi Malang.
Fenomena ini sungguh sangat
menarik, dalam artian meskipun ajaran Syiah ini banyak tersebar di Indonesia
dan juga pernah mengalam resistensi di daerah lain seperti di Pandeglang
Provinsi Jawa Barat (6/2/2011) dan Temanggung Provinsi Jawa Tengah (8/2/2011)
namun tidak separah dan sebesar di Jawa Timur. Di Provinsi ini, eskalasi
konflik dengan isu Sunni-Syiah semakin tahun mengalami peningkatan dan
resistensi tehadap ajaran syiah semakin menguat dan meluas di tengah
masyarakat.
Dengan demikian, maka sangatlah wajar bila kemudian muncul asumsi-asumsi konspiratif yang mengitari rentetan letusan konflik bertema Sunni-Syiah di Jawa Timur. Bahwa ada unsur kesengejaan untuk menciptakan dan memelihara konflik Sunni-Syiah yang melibatkan kekuatan transnasional. Pertanyaannya kemudian “ Benarkah ada keterlibatan kekuatan transnasional di balik konflik bertema Sunni-Syiah ini serta Mengapa percepatan dan penguatan konflik berada di Jawa Timur?”
Adalah Dr. Michael Brant, salah seorang mantan tangan kanan direktur CIA, Bob Woodwards yang mengawali adanya kepentingan Transnasional dalam menciptakan konflik Sunni-Syiah. Dalam sebuah buku berjudul “A Plan to Devide and Destroy the Theology”, Michael mengungkapkan bahwa CIA telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta USD untuk melancarkan berbagai aktivitas anti-Syiah. Hal ini kemudian diperkuat oleh publikasi laporan RAND Corporation di tahun 2004, dengan judul “US Strategy in The Muslim World After 9/11". Laporan ini dengan jelas dan eksplisit menganjurkan untuk terus mengekploitasi perbedaan antara Ahlu Sunnah dan Syiah demi kepentingan AS di Timur Tengah. Kemenangan Revolusi Iran tahun 1979 telah menggagalkan politik-politik Barat yang sebelumnya menguasai kawasan negara Islam. Iran yang sebelumnya tunduk dan patuh terhadap AS, pasca revolusi, justru lebih banyak menampilkan sikap yang berseberangan dengan negeri “Paman Sam” itu. Karenanya, AS merasa berkepentingan untuk menjaga agar konflik Sunni-Syiah itu tetap ada di wilayah Timteng demi melanjutkan hegemoninya di kawasan tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa apa yang dinyatakan oleh Michael Brant bukanlah sebagai sebuah halusinasi. Jauh sebelum revolusi Iran tahun 1979, sangat jarang ditemukan konflik terbuka antara Syiah dan Ahlus Sunnah, kecuali konflik yang bersifat sporadis di antara kelompok-kelompok kecil dari kedua kalangan di Irak, Libanon dan Suriah. Sementara itu, khusus di Indonesia, keberadaan kaum Syiah bukan barang baru. Syiah telah ada sejak dahulu kala. Namun, seperti layaknya secara umum, di Indonesia hampir tak pernah ditemui konflik sektarian yang melibatkan antara Sunni-Syiah. Karenanya bagi sebagian pengamat, sangatlah mengherankan jika tiba-tiba Sunni-Syiah turut mewarnai konflik bernuansa SARA di Indonesia. Bila kita tarik apa yang dinyatakan oleh Michael Brant tersebut ke ranah domestik, maka jelas ada kepentingan di luar SARA yang turut berperan -bahkan mengambil porsi lebih besar- dalam konflik Sunni-Syiah di Indonesia.
Selanjutnya, di Indonesia kepentingan tranasional Barat ini bersimbiosis dengan kekuatan kelompok Islam transnasional yang kemudian banyak diidentikan dengan gerakan Wahabisasi Global. Tujuan utama kelompok ini adalah dengan membuat dan medukung kelompok-kelompok lokal untuk membuat wajah Islam lebih keras dan radikal serta berusaha memusnahkan pengamalan-pengamalan Islam yang lebih toleran yang lebih lama ada dan dominan di Indonesia. Kelompok ini berusaha keras untuk menginfiltrasi berbagai sendi kehidupan umat Islam Indonesia dalam beragam cara baik secara halus mapun kasar. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dalam pengantar buku Ilusi Negara Islam bahwa Gerakan asing Wahabi/Ikhwanul Muslimin dan kaki tangannya di Indonesia menggunakan petrodollar dalam jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah pun tidak ada. Mereka akan mudah menuduh kelompok Islam lain yang tidak sepaham dengan ajaran wahabi sebagai kafir, sesat dan murtad.
Dengan demikian, maka sangatlah wajar bila kemudian muncul asumsi-asumsi konspiratif yang mengitari rentetan letusan konflik bertema Sunni-Syiah di Jawa Timur. Bahwa ada unsur kesengejaan untuk menciptakan dan memelihara konflik Sunni-Syiah yang melibatkan kekuatan transnasional. Pertanyaannya kemudian “ Benarkah ada keterlibatan kekuatan transnasional di balik konflik bertema Sunni-Syiah ini serta Mengapa percepatan dan penguatan konflik berada di Jawa Timur?”
Adalah Dr. Michael Brant, salah seorang mantan tangan kanan direktur CIA, Bob Woodwards yang mengawali adanya kepentingan Transnasional dalam menciptakan konflik Sunni-Syiah. Dalam sebuah buku berjudul “A Plan to Devide and Destroy the Theology”, Michael mengungkapkan bahwa CIA telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta USD untuk melancarkan berbagai aktivitas anti-Syiah. Hal ini kemudian diperkuat oleh publikasi laporan RAND Corporation di tahun 2004, dengan judul “US Strategy in The Muslim World After 9/11". Laporan ini dengan jelas dan eksplisit menganjurkan untuk terus mengekploitasi perbedaan antara Ahlu Sunnah dan Syiah demi kepentingan AS di Timur Tengah. Kemenangan Revolusi Iran tahun 1979 telah menggagalkan politik-politik Barat yang sebelumnya menguasai kawasan negara Islam. Iran yang sebelumnya tunduk dan patuh terhadap AS, pasca revolusi, justru lebih banyak menampilkan sikap yang berseberangan dengan negeri “Paman Sam” itu. Karenanya, AS merasa berkepentingan untuk menjaga agar konflik Sunni-Syiah itu tetap ada di wilayah Timteng demi melanjutkan hegemoninya di kawasan tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa apa yang dinyatakan oleh Michael Brant bukanlah sebagai sebuah halusinasi. Jauh sebelum revolusi Iran tahun 1979, sangat jarang ditemukan konflik terbuka antara Syiah dan Ahlus Sunnah, kecuali konflik yang bersifat sporadis di antara kelompok-kelompok kecil dari kedua kalangan di Irak, Libanon dan Suriah. Sementara itu, khusus di Indonesia, keberadaan kaum Syiah bukan barang baru. Syiah telah ada sejak dahulu kala. Namun, seperti layaknya secara umum, di Indonesia hampir tak pernah ditemui konflik sektarian yang melibatkan antara Sunni-Syiah. Karenanya bagi sebagian pengamat, sangatlah mengherankan jika tiba-tiba Sunni-Syiah turut mewarnai konflik bernuansa SARA di Indonesia. Bila kita tarik apa yang dinyatakan oleh Michael Brant tersebut ke ranah domestik, maka jelas ada kepentingan di luar SARA yang turut berperan -bahkan mengambil porsi lebih besar- dalam konflik Sunni-Syiah di Indonesia.
Selanjutnya, di Indonesia kepentingan tranasional Barat ini bersimbiosis dengan kekuatan kelompok Islam transnasional yang kemudian banyak diidentikan dengan gerakan Wahabisasi Global. Tujuan utama kelompok ini adalah dengan membuat dan medukung kelompok-kelompok lokal untuk membuat wajah Islam lebih keras dan radikal serta berusaha memusnahkan pengamalan-pengamalan Islam yang lebih toleran yang lebih lama ada dan dominan di Indonesia. Kelompok ini berusaha keras untuk menginfiltrasi berbagai sendi kehidupan umat Islam Indonesia dalam beragam cara baik secara halus mapun kasar. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid dalam pengantar buku Ilusi Negara Islam bahwa Gerakan asing Wahabi/Ikhwanul Muslimin dan kaki tangannya di Indonesia menggunakan petrodollar dalam jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah pun tidak ada. Mereka akan mudah menuduh kelompok Islam lain yang tidak sepaham dengan ajaran wahabi sebagai kafir, sesat dan murtad.
Analisis ini juga
dikuatkan oleh sebuah realitas pergerakan politik di Timur Tengah, dikonflik
Internasional kita lihat perang Saudara di Irak, Suriah, Pakistan dan
Afgahnaistan semuanya ditarik pada perang antara Sunni dan Syiah, belum lagi
ancaman serangan ke Iran yg notebene adalah pusat Syiah. Arab Saudi sebagai
Poros Wahabi dunia ini sangat ingin punya pengaruh d Timur Tengah, namun kalah
pamor dengan Iran yang lebih mempunyai Sumber Daya Alam maupun sumber daya
manusia yang pintar-pintar, sejak jaman persia dahulu kala. Sedangkan di
Indonesia sendiri, konflik Sunni-Syiah tidak mempunyai akar sejarah politik.
Rupanya
kelompok Wahabisasi global ini pun memahami bahwa NU merupakan penghalang utama
pencapaian target idiologis dan politik mereka. Sebagai organisasi Sunni
terbesar di Indonesia selama ini NU begitu gencar dalam memperjuangkan
nilai-nilai Islam yang moderat, humanis dan toleran. Bahkan dalam pergaulan
internasional di bidang keagamaan pemikiran-pemikiran NU berikut tokoh-tokohnya
menjadi refrensi umat Islam dunia. Citra sebagai gerakan Islam moderat, diakui
atau tidak, adalah milik NU. Praksis, upaya-upaya untuk mendiskreditkan,
merusak citra NU sebagai organisasi kaum sunni dengan ajaran Islam yang lembut
dan toleran kerap dilakukan salah satunya dengan membenturkan kaum Nahdliyin dengan
kaum syii di Indonesia.
Untuk
melakukannya lalu dipilihlah Jawa Timur sebagai lokasi pabrik yang memproduksi
konflik-konflik bertema Sunni-Syiah. Pilihan ini sangatlah strategis, publik
tahu bahwa Jawa Timur merupakan basis utama para penganut paham ajaran Islam
Ahlussunnah Wal Jama’ah . Di Jawa Timur lah, NU sebagai organisasi masyarakat
terbesar di Indonesia yang berpahamkan Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah
dideklarasikan dan didirikan yang kemudian berkembang pesat dan cepat ke
seluruh penjuru nusantara. Di Jawa Timur pulalah, dinamika pergerakan NU menjadi
barometer politik nasional.
Di samping itu,
pilihan lokasi konflik seperti Jember, Pasuruan, Malang dan Sampang juga bukan
tanpa kalkulasi yang strategis. Publik pun tahu, bahwa di daerah-daerah
tersebut karakter masyarakatnya sangat lekat dengan kultur Madura. Selain
dikenal sebagai pengikut NU yang fanatik, masyarakat dengan kultur madura ini
telah menjadikan Islam sebagai salah satu unsur penanda identitas etnik Madura.
Sebagai unsur identitas etnik, agama merupakan bagian integral dari harga diri
orang Madura.
Oleh karena
itu, pelecehan terhadap ajaran agama atau perilaku yang tidak sesuai dengan
agama, mengkritik kiai serta mengkritik perilaku keagamaan orang Madura,
merupakan pelecehan terhadap harga diri orang Madura. Maka janganlah heran
jika, warga Nahdliyin Madura dimanfaatkan dan mudah disulut sebagai pengobar
api kerusuhan dengan isu sentimen beda aliran agama. Walhasil, eskalasi
percepatan isu dan penguatan konflik terbesar berada di wilayah Madura dan
Tapal Kuda dan jarang sekali berada di zona lainnya seperti pantura maupun zona
matraman.[13]
B. Penutup
a.
Kesimpulan
Tiada suatu penyebab
perpecahan diantara umat ini yang lebih hebat daripada perbedaab pendapat yang
berhubungan dengan soal kepemimpinan umum atau imamah. Tiada bentrokan dalam Islam demi suatu prinsip agama.
Generasi demi generasi yang mempertengkarkan soal imamah ini telah menjadi demikian heboh serta fenomenal sampai saat
ini. Sikap fanatic yang ada dalam kelompok mereka masing-masing, serta
mengambil kesimpulan bahwa kelompok lain salah tanpa melakukan kajian dan
penelitian secara mendalam mengenai permasalahan yang menyebabkan perpecahan
merek tersebut, menjadikan masalah ini tak kunjung sampai pada titik tengah
kedua kedua kelompok, sehingga masalah tersebut selalu berlanjut hingga
sekarang.
b.
Saran
Seharusnya kita semua
lebih pintar dalam melakukan penyimpulan dari setiap perbedaan, dan dapat lebih
bijak dalam memandang sesuatu. Kaji terlebih dahulu masalah tersebut, secara
kritis dan mendalam baru dapat menyimpulkan. Karena pada hakikatnya pada setiap
perbedaan pasti ada banyak persamaan di dalamnya. Perbedaan itu indah, karena
jika taman hanya terdiri dari satu jenis bunga tidak akan indah dilihat, akan
tetapi jika taman terdiri dari berbagai macam jenis bunga maka akan
semakin lebih terlihat indah.
Daftar Pustaka
Afifi Fauzi dan Amin Nurdin. Sejarah pemikiran islam.2012.AMZAH.jakarta.
Al-Musawi Syarifuddin. Dialog Sunnah Syi’ah.1995. Mizan.
Bandung.
Nasution Harun. Teologi islam. 1972. Jakarta: universitas Indonesia.
Tijani Muhammad. Al syiah ahlu sunah. 2007. Jakarta: El faraj publishing
[1] prof. dr. Muhammad Tijani. Al syiah ahlu sunah Jakarta: El faraj
publishing. 2007. Hlm..30
[2] Ibid hlm 30-31
[3] Ibid hlm 33
[4] Ibid hlm 37
[5] Harun nasution. Teologi islam. Jakarta: universitas Indonesia.
1972. Hlm. 64
[6] prof. dr. Muhammad Tijani. Al syiah ahlu sunah Jakarta: El faraj
publishing. 2007. Hlm 89-90
[7] Ibid hlm. 93-95
[8] Ibid hlm. 147-148
[9] Ibid hlm, 149-156
[10] A. Syarafuddin al-Musawi, Dialog
Sunnah Syi’ah.1995. Mizan.
Bandung. Hlm 4-5
[11] Amin Nurdin dan Afifi Fauzi. Sejarah
pemikiran islam.2012.AMZAH.jakarta. hlm.166-167
[12] Ibid, hlm.180-182
Tidak ada komentar:
Posting Komentar