A.
Latar Belakang
Pertama kali perayaan Maulid Nabi (Muludan) masuk dalam khazanah
ke Islaman Nusantara, perayaan Maulid Nabi dimanfaatkan Wali Songo untuk
sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar dapat
mengucapkan syahadatain atau dua kalimat syahadat sebagai pertanda memeluk agam Islam. Itulah sebabnya perayaan
Maulid Nabi disebut perayaan syahadatain, dengan logat yang berbeda
sehinnga dalam bahasa Jawa disebut sekaten.Seperti halnya dakwah Sunan Kalijaga melalui lakon atau cerita
pewayangan yang di dalamnya memuat nilai-nilai ke-Islaman, dengan cerita
pewayangan yang terkenal ialah Lakon carangan yang di dalam berisi lakon Layang Kalimasada
ciptaan Sunan Kalijaga yang isinya diambil dari kalimat syahadat.[1]
Muludan merupakan selamtan terbesar sekaligus paling meriah
yang pelaksanaanya mengacu pada penanggalan Jawa. Pada tanggal 12 Mulud, Nabi
Muhammad SAW dilahirkan . Demi memperingti hari lahir Nabi Muhammad SAW, mak
setiap tanggal 12 Mulud diadakan selamatan untuk memperingatinya sekaligus
mendapatkan barakah darinya. Di kalngan masyarakat Jawa, selamatan ini kemudian
lebih populer dengan sebutan Muludan.[2]
Pada zaman
Kesultanan Mataram, perayaan Maulid Nabi disebut Grebeg Mulud. Kata “grebeg”
artinya mengikuti, yaitu mengikuti, mengikuti disini diartikan dengan
mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keratn menuju masjid untuk
mengikuti perayaan Maulid Nabi , lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi
gunungan dan sebagainya. Dengan Kesultanan Mataram waktu itu sebagai kerajaan
Islam terbesar pada masanya, sehingga penyebaran peringatan Maulid Nabi ini pun
tersebar keseluruh wilayah Nusantara, khususnya pulau Jawa hingga sampailah ke
wilayah Cirebon. Melalui peran dari para wali Sanga tentunya, khusnya wilayah cirebon
sendiri ialah Sunan Gunung Jati, yang juga termasuk Wali Sanga periode
terakhir.[3]Kemudian
berlanjut hingga ke wilayah Kekratonan Cirebon dan berkembang hingga Kelurahan
Argasunya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka penulis
mengidentifikasi beberapa masalahnya yang akan menjadi titik pembahasan pada
isi makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah serta proses terjadinya Muludan dari Kraton Cirebon
hinggaga di Kelurahan Argasunya Kota Cirebon?
2. Apa makna dan dampak dari Muludan yang dilakukan di Kelurahan
Argasunya Kota Cirebon kepada masyarakat sekitar?
C.
Tujuan
Dari
rumusan yang telah dipaparkan diatas maka penulis bertujuan dalam makalah ini
untuk mengetahui titik pembahasan, sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui sejarah serta proses apa saja yang dilakukan dalam Muludan dari Kraton Cirebon hingga di
Kelurahan Argasunya Kota Cirebon.
2. Untuk
mengetahui makna dan dampak dari Muludan yang dilakukan di Kelurahan
Argasunya Kota Cirebon kepada masyarakat sekitar .
D.
Kegunaan
Adapun manfaat dan
kegunaan dari adanya pelaksanaan Muludan di Jawa Cirebon terutama di
Kelurahan Argasunya bagi kehidupan bermasyarakat, diantaranya yaitu :
1.
Mengetahui serta
memahami makna hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
2.
Terjalinnya tali
silaturahmi antar masyarakat serta berbagi kebahagiaan.
3.
Terciptanya
keharmonisasiaan dalam kehidupan bermasyarakat.
4.
Terciptanya rasa
syukur atas nikmat yang di berikan oleh Allah SWT.
E.
Pembahasan
1.
Sejarah singkat munculnya tradisi MULUDAN di Kraton Cirebon
Muludan I
Tanggal 12 Rabiul Awal sudah kerutinan bagi umat Islam di seluruh dunia,
khususnya di Indonesia memperingati Maulid Nabi. Di Kota
Cirebon Maulid Nabi lebih populer dengan sebutan Muludan. Peringatan Muludan
di Kota Cirebon terpusat di beberapa tempat di antaranya Keraton Kasepuhan dan
Keraton Kanoman. Di kedua keraton tersebut pada bulan maulid banyak sekali
dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah, yang tentunya juga menarik para
pedagang untuk berdagang di sekitar keraton tersebut. Sehingga selama ini
atmosfer tradisi Muludan lebih identik dengan suasana pasar
tahunan. Disebut dengan
kata Muludan karena nama bulan itu
sendiri, Mulud dalam penanggalan Jawa. Mulud diambil dari bahasa Arab “maulud”
atau “maulid” yang berarti kelahiran, kelahiran di sini adalah kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Selamatan ini dapat dikatakan paling teratur diadakan dibandingakan dengan bebagai
jenis selamatan lainnya, seperti selamatan 27 Rejeb, selamatan 29 Ruwah dan
lainnya[4]
Muludan di Kota Cirebon yang berawal dari ketidak adaan tontonan
serta acara hiburan lainnya. Hanya ada orang yang menggelar dagangan berbentuk
makanan dan minuman di bawah langit terbuka, akan tetapi lambat laun kemudian
bermunculanlah stand/gubug dagangan makanan dan minuman, pada awal bulan mulud
di sekitar alun-alun Kasepuhan dan Kanoman.[5]
Pada malam tanggal 8 bulan Mulud dipukullah gamelan
sukhati di lemah duwur atau sitinggil Kraton Kanoman, kemudian dibukanya pintu
gedunga barang-barang kuno Kraton Kesepuhan dan Kanoman untuk umum, kemudian
ramailah gubug lumpang watu dikunjungi orang\orang sekitar untuk mengiring
pelal kecil di sebuah langgar Keraton Kanoman. Sebuah upacara rasulan atau yang
kini dikenal sebagi Muludan, berupa
nasi kuning, lauk-pauknya, buah-buahan, dan bunga-bungaan di atas piring
panjang kuna/pusaka (yang d\kemudian disebut “nasi jimat” atau “panjang jimat”)
dengan membaca kitb barjanji dengan cara lama. Di sela-sela istirahat pemukulan
gameln sukhati/sekati, tiap malam beberapa petugas di Cirebon bagian agama
dulunya melakukan tabligh syahadatain atau syahadat kalimah dua dan santapan
rokhani Islam. [6]
Sebagai puncaknya kemudian di setiap tanggal 12 Mulud
diselenggarakan pengarakan secara besar-besaran yang disertai iring-iringan “Nasi
Jimat” dan “Panjang Jimat” serta wakil sultan dan rombongan kelurganya melalui
alun-alun Kanoman, yang selanjutnya dilakukan pembacan barjanji oleh para
petugas-petugas agama yang mengenakan pakaian resmi dari jam 9 malam sampai 12
malam. Setelah itu arak-arakan kembali ke Kraton serta membagikan berkatnya
kepada orang yang berkepentingan.Kenudian inilah yang merupakan asal mulanya Muludan di Kota Cirebon pada area
Kraton.[7]
Kemudin acara itu terus terlaksana hingga sekarang, yang kemudian seluruh warga
Jawa Barat khususnya Cirebon pasti akan mengetahuinya, karena tradisi yang tlah
dilakukan terus-menerus dan sosialisasi pemerintah yang tak pernah henti dalam menginformasikan
seluruh kebudayaan serta tempat budaya yang ada di Cirebon.
2. Sejarah
serta ruang lingkup adanya tradisi Muludan
di Keluarahan Argasunya.
Muludan II
Argasunya adalah salah satu kelurahan
di Kecamatan
Harjamukti,
Kota Cirebon, Jawa Barat, Indonesia. Kelurahan Argasunya yang memiliki penduduk
20.279 Jiwa dan Luas : 675 ha/m2.[8] Kelurahan ini dikenal sebagai
wilayah “Kampung Budaya”, banyak sekali hal-hal yang perlu dikaji dalam
Kelurahan ini khususnya kampung
yang sangat fenomenal yaitu “Benda Kerep” sebagai salah satu kampunga yang pernah menolak
PEMILU, serta masih teguh dalam memegang adat istiadat orang dulu, seperti,
salah satunya yaitu menolak keberadaan TV dan kendaraan bermotor di kampungnya.[9]
Berbicara tentang sejarah Benda Kerep maka tidak akan terlepas dengan sejarah-sejarah mistis yang meliputinya. Kampung Benda Kerep didirikan oleh Embah Soleh kira – kira kurang lebih 300 tahun yang lalu. Embah soleh berasal dari keturunan Keraton Kanoman yakni keturunan ke 13 dari Syek Sarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon. Namun ada persepsi lain yang mengatakan Embah Soleh adalah keturunan ke 12 dan keturunan ke 9.
Sebelum menjadi kampung Benda Kerep wilayah ini dinamakan Cimeuweuh yang berasal dari bahasa sunda cai meuweuh yang mengandung terminologi ketika ada orang yang masuk ke wilayah Cimeuweuh maka orang tersebut hilang entah kemana tetapi menurut keyakinan masyarakat sekitar kemungkinan besar orang yang masuk kewilayah tersebut dibawa ke alam ghaib oleh sekelompok mahkluk ghaib penghuni wilayah Cimeuweuh. Kejadian yang lebih mencengangkan pohon – pohon rindang yang berada didalam wilayah Cimeuweuh mengandung unsur mistis yang luar biasa diluar jangkauan rasio dan ilmu pengetahuan fisika, yakni ketika pohon tersebut di tebas atau ditebang pohon itu akan mengeluarkan darah dan menjerit layaknya mahkluk hidup bernyawa. Kejadian-kejadian ghaib yang sering terjadi dihutan belantara Cimeuweuh ini mengundang perhatian besar dari kalangan bangsa Kraton Kanoman yang kemudian hutan belantara yang masih milik tanah kraton ini dinamakanCimeuweuh.
Melihat hal-hal yang ganjil didaerah hutan belantara yang masih dimiliki oleh Kraton kanoman tersebut, pada akhirnya banyak orang-orang sakti mandraguna baik dari kalangan kraton ataupun dari luar kerajaan yang ingin mencoba kesaktiannya untuk menaklukan daerah Cimeweuh dari pengaruh-pengaruh ghaib, diantaranya menurut informasi yang kami dapat yaitu Embah Layaman, seorang sakti mandaraguna yang memiliki ilmu kanuragan tinggi serta menguasai ilmu agama secara lues, berasal dari daerah solo dan diangkat menjadi penasehat kesultanan karena kesaktian dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Beliau mencoba datang ke cimeuweuh dengan maksud mengusir makhluk-makhluk ghaib serta menaklukan daerah cimeuweuh dari berbagai pengaruhnya, setelah Embah Layaman datang ke Cimeuweuh Beliau mencoba memulainya dengan mengeluarkan berbagai ilmu kesaktiannya untuk menaklukan para penghuni gahib. Usaha demi usaha telah dilakukan tapi ternyata tuhan berkehendak lain , Embah Layaman tidak mampu atau gagal menaklukan wilayah Cimeuweuh dan para penghuninya pada akhirnya dalam keadaan pasrah dan menerima apa adanya beliau berjalan menuju Kali Lunyu beliau bermukim disana dan mendirikan sebuah Masjid. Sampai sekarang masjid di Kali Lunyu masih berdiri dengan kokoh sampai sekarang di sana.
Pada tahap berikutnya Embah Soleh sendiri yang hidup pada masa K. Asy’ari (pendiri pesantren Tebu Ireng dan ayah dari hasyim asy’ari [-+ th. 1826 M.]) sebelumnya telah mendirikan pesantern tempat menimba ilmu dan menetap di Situ Patok, bersama sahabatnya K. Anwarudin kemudian beliau pindah ke desa Kegunung di daerah Sumber cirebon serta mendirikan pesantren pula di Kegunung. Riwayat tentang K. Anwarudin menurut informasi yang kami dapat adalah sahabat dekat Embah Soleh guru dari keduanya adalah K. Baha’udin dari Manafizaha tetapi persi lainpun mengatakan K. Anwarudin yang lebih dikenal dengan pangeran Klayan tersebut adalah paman sekaligus guru dari embah soleh.
Melalui perjalanan yang begitu panjang di Kegunung, K. Anwarudin mendapat sebuah petunjuk bahwasannya Embah Soleh yang memegang teguh terhadap ilmu tasawuf ini harus pindah ke Cimeuweuh dan harus menaklukan pengaruh – pegaruh gaib yang mengelilinginya. K. Anwarudin berfirasat bahwa daerah sumber, suatu saat kelak akan menjadi pusat pemerintahan wilayah Cirebon dan itu akan memberikan dampak besar untuk keselamatan anak cucu Embah Soleh dan ketasawufan serta tidak cocok untuk menyembunyikan anak cucu dari keramaian. Berawal dari petunjuk K. Anwarudin, akhirnya Embah Soleh bersama K. Anwarudin bertolak menuju tanah Cimeuweuh dengan niatan menaklukan tanah tersebut dari gangguan-ganguan ghaib. Sesampainya disana, embah soleh dan K.Anwarudin bermunajat dan berdo’a kepada Allah SWT. Memohon pertolongan dan keselamatan dari hawa-hawa ghaib, entah apa yang terjadi berkat kesucian dan karomah yang dimilikinya dengan sekilas para penghuni gaib diwilayah Cimeuweuh takluk kepada embah soleh dan menyingkir dari tanah Cimeuweh. Sementara itu keterangan yang kami peroleh dari K. Miftah Putra K. Faqih atau keturunan ke empat dari embah soleh, ketika proses penaklukan makhluk ghaib di Cimeuweuh semua makhluk ghaib di Cimeuweuh takluk dan bersedia berinjak dari tanah Cimeuweuh, tapi ada dua makhluk ghaib yang tidak mau berinjak dari tanah Cimeuwuh yaitu seekor Macan ghaib dan seekor Ular ghaib yang sebelumnya ular ghaib tersebut ada tiga, yang dua pergi dan yang satu menetap, dengan mengadakan sebuah perjanjian bahwa seekor Macan dan Ular ghaib tersebut berjanji akan melindungi dan menjaga anak cucu keturunan Embah Soleh dari hal-hal negative yang membahayakan keturunan Embah Soleh. Pernyataan ini dibenarkan juga oleh k. Muhammad Nuh menantu K . Hasan bin K. Abu Bakar bin Embah Soleh, bahkan menurut pernyataan K. Muhammad Nuh sampai sekarang masyarakat Benda Kerep sering melihat penampakan seekor Macan Putih dengan loreng hitam disekitar Cimeuweuh/benda kerep dan diwaktu yang berbeda masyarakat pula sering melihat penampakan seekor Ular Besar.
Singkat cerita, setelah tanah cimeuweuh ditaklukan, akhirnya kabar penaklukan tanah cimeuweuh oleh embah soleh terdengar juga oleh Sultan Zulkarnaen (Raja Kraton Kanoman pada masa itu), mendengar berita yang baik itu, tanah Cimeuweuh yang masih milik Kraton Kanoman itu ahkirnya dihibahkan oleh Sultan Zulkarnaen kepada embah soleh dengan memasrahkan segalnya asal tanah Cimeuwuh dijadikan sebagi sumber cahaya dan pusat penyebaran agama Allah Swt. Waktu berputar perlahan tapi pasti, Embah Solehpun mulai menetap di Cimeuweuh bersama istri pertamanya Nyai Menah dari Pekalongan, pada masa permulaan beliau mendirikan sebuah kranggon (pohon besar yang dikasih papan kayu. Red.) sebagai tempat tinggal sementara.Kemudian nama Cimeuweuh diganti dengan nama Benda Kerep karena di tanah Cimeuweuh terdapat pohon Benda (pohon dan buahnya kaya semacan sukun) dan pohon tersebut banyak sekali (Kerep[bahasa jawa]) dengan alasan itulah Cimeuweuh diganti menjadi Benda Kerep, Sekarang cimeuweuh sirna dan benda kerep pun lahir. Keberadaan Benda Kerep sebagai wajah baru dari tanah Cimeuweuh tentunya telah mengundang berbagai perhatian dari berbagai penjuru masyarakat Cirebon terlebih disitu terdapat orang mulia, sakti mandraguna dan mempunyai wawasan kelimuan yang tinggi dan berakhlak mulia, selalu memegang teguh prinsif-prinsif aqidah dan bersandar pada ajaran tasawuf sebagai implementasi dari ajaran islam sesungguhnya.
Berbicara tentang sejarah Benda Kerep maka tidak akan terlepas dengan sejarah-sejarah mistis yang meliputinya. Kampung Benda Kerep didirikan oleh Embah Soleh kira – kira kurang lebih 300 tahun yang lalu. Embah soleh berasal dari keturunan Keraton Kanoman yakni keturunan ke 13 dari Syek Sarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon. Namun ada persepsi lain yang mengatakan Embah Soleh adalah keturunan ke 12 dan keturunan ke 9.
Sebelum menjadi kampung Benda Kerep wilayah ini dinamakan Cimeuweuh yang berasal dari bahasa sunda cai meuweuh yang mengandung terminologi ketika ada orang yang masuk ke wilayah Cimeuweuh maka orang tersebut hilang entah kemana tetapi menurut keyakinan masyarakat sekitar kemungkinan besar orang yang masuk kewilayah tersebut dibawa ke alam ghaib oleh sekelompok mahkluk ghaib penghuni wilayah Cimeuweuh. Kejadian yang lebih mencengangkan pohon – pohon rindang yang berada didalam wilayah Cimeuweuh mengandung unsur mistis yang luar biasa diluar jangkauan rasio dan ilmu pengetahuan fisika, yakni ketika pohon tersebut di tebas atau ditebang pohon itu akan mengeluarkan darah dan menjerit layaknya mahkluk hidup bernyawa. Kejadian-kejadian ghaib yang sering terjadi dihutan belantara Cimeuweuh ini mengundang perhatian besar dari kalangan bangsa Kraton Kanoman yang kemudian hutan belantara yang masih milik tanah kraton ini dinamakanCimeuweuh.
Melihat hal-hal yang ganjil didaerah hutan belantara yang masih dimiliki oleh Kraton kanoman tersebut, pada akhirnya banyak orang-orang sakti mandraguna baik dari kalangan kraton ataupun dari luar kerajaan yang ingin mencoba kesaktiannya untuk menaklukan daerah Cimeweuh dari pengaruh-pengaruh ghaib, diantaranya menurut informasi yang kami dapat yaitu Embah Layaman, seorang sakti mandaraguna yang memiliki ilmu kanuragan tinggi serta menguasai ilmu agama secara lues, berasal dari daerah solo dan diangkat menjadi penasehat kesultanan karena kesaktian dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Beliau mencoba datang ke cimeuweuh dengan maksud mengusir makhluk-makhluk ghaib serta menaklukan daerah cimeuweuh dari berbagai pengaruhnya, setelah Embah Layaman datang ke Cimeuweuh Beliau mencoba memulainya dengan mengeluarkan berbagai ilmu kesaktiannya untuk menaklukan para penghuni gahib. Usaha demi usaha telah dilakukan tapi ternyata tuhan berkehendak lain , Embah Layaman tidak mampu atau gagal menaklukan wilayah Cimeuweuh dan para penghuninya pada akhirnya dalam keadaan pasrah dan menerima apa adanya beliau berjalan menuju Kali Lunyu beliau bermukim disana dan mendirikan sebuah Masjid. Sampai sekarang masjid di Kali Lunyu masih berdiri dengan kokoh sampai sekarang di sana.
Pada tahap berikutnya Embah Soleh sendiri yang hidup pada masa K. Asy’ari (pendiri pesantren Tebu Ireng dan ayah dari hasyim asy’ari [-+ th. 1826 M.]) sebelumnya telah mendirikan pesantern tempat menimba ilmu dan menetap di Situ Patok, bersama sahabatnya K. Anwarudin kemudian beliau pindah ke desa Kegunung di daerah Sumber cirebon serta mendirikan pesantren pula di Kegunung. Riwayat tentang K. Anwarudin menurut informasi yang kami dapat adalah sahabat dekat Embah Soleh guru dari keduanya adalah K. Baha’udin dari Manafizaha tetapi persi lainpun mengatakan K. Anwarudin yang lebih dikenal dengan pangeran Klayan tersebut adalah paman sekaligus guru dari embah soleh.
Melalui perjalanan yang begitu panjang di Kegunung, K. Anwarudin mendapat sebuah petunjuk bahwasannya Embah Soleh yang memegang teguh terhadap ilmu tasawuf ini harus pindah ke Cimeuweuh dan harus menaklukan pengaruh – pegaruh gaib yang mengelilinginya. K. Anwarudin berfirasat bahwa daerah sumber, suatu saat kelak akan menjadi pusat pemerintahan wilayah Cirebon dan itu akan memberikan dampak besar untuk keselamatan anak cucu Embah Soleh dan ketasawufan serta tidak cocok untuk menyembunyikan anak cucu dari keramaian. Berawal dari petunjuk K. Anwarudin, akhirnya Embah Soleh bersama K. Anwarudin bertolak menuju tanah Cimeuweuh dengan niatan menaklukan tanah tersebut dari gangguan-ganguan ghaib. Sesampainya disana, embah soleh dan K.Anwarudin bermunajat dan berdo’a kepada Allah SWT. Memohon pertolongan dan keselamatan dari hawa-hawa ghaib, entah apa yang terjadi berkat kesucian dan karomah yang dimilikinya dengan sekilas para penghuni gaib diwilayah Cimeuweuh takluk kepada embah soleh dan menyingkir dari tanah Cimeuweh. Sementara itu keterangan yang kami peroleh dari K. Miftah Putra K. Faqih atau keturunan ke empat dari embah soleh, ketika proses penaklukan makhluk ghaib di Cimeuweuh semua makhluk ghaib di Cimeuweuh takluk dan bersedia berinjak dari tanah Cimeuweuh, tapi ada dua makhluk ghaib yang tidak mau berinjak dari tanah Cimeuwuh yaitu seekor Macan ghaib dan seekor Ular ghaib yang sebelumnya ular ghaib tersebut ada tiga, yang dua pergi dan yang satu menetap, dengan mengadakan sebuah perjanjian bahwa seekor Macan dan Ular ghaib tersebut berjanji akan melindungi dan menjaga anak cucu keturunan Embah Soleh dari hal-hal negative yang membahayakan keturunan Embah Soleh. Pernyataan ini dibenarkan juga oleh k. Muhammad Nuh menantu K . Hasan bin K. Abu Bakar bin Embah Soleh, bahkan menurut pernyataan K. Muhammad Nuh sampai sekarang masyarakat Benda Kerep sering melihat penampakan seekor Macan Putih dengan loreng hitam disekitar Cimeuweuh/benda kerep dan diwaktu yang berbeda masyarakat pula sering melihat penampakan seekor Ular Besar.
Singkat cerita, setelah tanah cimeuweuh ditaklukan, akhirnya kabar penaklukan tanah cimeuweuh oleh embah soleh terdengar juga oleh Sultan Zulkarnaen (Raja Kraton Kanoman pada masa itu), mendengar berita yang baik itu, tanah Cimeuweuh yang masih milik Kraton Kanoman itu ahkirnya dihibahkan oleh Sultan Zulkarnaen kepada embah soleh dengan memasrahkan segalnya asal tanah Cimeuwuh dijadikan sebagi sumber cahaya dan pusat penyebaran agama Allah Swt. Waktu berputar perlahan tapi pasti, Embah Solehpun mulai menetap di Cimeuweuh bersama istri pertamanya Nyai Menah dari Pekalongan, pada masa permulaan beliau mendirikan sebuah kranggon (pohon besar yang dikasih papan kayu. Red.) sebagai tempat tinggal sementara.Kemudian nama Cimeuweuh diganti dengan nama Benda Kerep karena di tanah Cimeuweuh terdapat pohon Benda (pohon dan buahnya kaya semacan sukun) dan pohon tersebut banyak sekali (Kerep[bahasa jawa]) dengan alasan itulah Cimeuweuh diganti menjadi Benda Kerep, Sekarang cimeuweuh sirna dan benda kerep pun lahir. Keberadaan Benda Kerep sebagai wajah baru dari tanah Cimeuweuh tentunya telah mengundang berbagai perhatian dari berbagai penjuru masyarakat Cirebon terlebih disitu terdapat orang mulia, sakti mandraguna dan mempunyai wawasan kelimuan yang tinggi dan berakhlak mulia, selalu memegang teguh prinsif-prinsif aqidah dan bersandar pada ajaran tasawuf sebagai implementasi dari ajaran islam sesungguhnya.
Banyak dari kalangan masyarakat cirebon
khususnya dari daerah tetangga benda kerep yang berniat untuk belajar dan
berguru kepada embah soleh, “Lama-Lama Menjadi Bukit” begitulah mungkin yang
dirasakan oleh embah soleh tanpa terasa yang semula hanya berdua bersama
isrinya kini telah banyak yang menemani embah soleh sebagai muridnya dan embah
soleh pun semakin serius untuk membumikan ajara islam di tanah Benda Kerep.
Pada kelanjutan regenerasinya, tempat tinggal Embah Soleh bersama istrinya yang semulanya adalah tempat kranggon, agar lebih memberikan kenyamanan dalam berumah tangga akhirnya embah soleh yang dibantu bersama murid-muridnya membangun sebuah rumah sederhana sebagai tempat tinggal yang memberikan sebuah kenyamanan, pada akhirnya proses pembangunan rumah tersebut telah memberikan warna sejarah tersendiri bagi benda kerep, yakni rumah yang dibangun oleh embah soleh adalah rumah pertama di kampung benda kerep dan rumah tersebut sampai sekarang masih berdiri kokoh namun telah mengalami berbagai renofasi, yang kemudian sekarang menjadi tempat tinggal K. Faqih cucu Embah Soleh dari K. Abu Bakar.
Pada kelanjutan regenerasinya, tempat tinggal Embah Soleh bersama istrinya yang semulanya adalah tempat kranggon, agar lebih memberikan kenyamanan dalam berumah tangga akhirnya embah soleh yang dibantu bersama murid-muridnya membangun sebuah rumah sederhana sebagai tempat tinggal yang memberikan sebuah kenyamanan, pada akhirnya proses pembangunan rumah tersebut telah memberikan warna sejarah tersendiri bagi benda kerep, yakni rumah yang dibangun oleh embah soleh adalah rumah pertama di kampung benda kerep dan rumah tersebut sampai sekarang masih berdiri kokoh namun telah mengalami berbagai renofasi, yang kemudian sekarang menjadi tempat tinggal K. Faqih cucu Embah Soleh dari K. Abu Bakar.
Melalui hikmah kewalian
Embah Soleh, benda kerep yang dahulunya penuh dengan aura mistis kini mulai
tampak cahaya-cahaya islam yang bersinar disetiap penjuru kampong benda kerep,
proses pengajaran agama islam berjalan dengan sempurna, ayat-ayat suci Al-Quran
kian berkumandang ditengah-tengah hutan belantara benda kerep, aplikasi ajaran islam
yang selalu menyentuh nila-nilai sikap dan moralitas begitu melekat dalam
setiap individu yang berdomoisili di kampong benda kerep, namun disisi lain
batin Embah Soleh mulai terusik seolah-olah hampa terasa dan ada yang belum
lengakp dalam kehidupan embah soleh, kegelisahan ini mulai terasa karena
melihat istrinya yang tak kunjung menghasilkan keturunan padahal seyogyanya
peranan anak cucu itu sangat urgen sekali sebagai regenerasi atau penerus
perjuangan Embah Soleh dalam menegakkan syariat islam ditanah nusantara kampung benda kerep pada khususnya.
Melalui proses perenungan yang begitu panjang dengan diiringi do’a dan restu
dari istri pertamanya, akhirnya beliaupun mengambil sebuah keputusan untuk
menikah lagi, disuntinglah Nyai Merah dari Manafizaha cirebon sebagai istri
keduanya. Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Merah dari Manafizaha Cirebon
ternyata cita-cita embah soleh untuk mempunyai keturunan dikabulkan oleh Allah
SWT. Nyai Merah telah memberikan dua orang putra da satu putri. yang pertama adalah
Embah Muslim atau K. Muslim, putra keduanya adalah K. Abu Bakar dan yang ketiga
adalah Nyai Qona’ah.
Demikian sekilas tentang sejarah singkat
benda kerep mengenai kapan tahun wafatnya
Embah Soleh dari berbagi sumber tidak kami peroleh kepastian sedikitpun, namun
mengenai peringatan haul nya Embah Soleh yang jatuh pda bulan dzulhijah atau bulan haji kemudian berlanjut pada bulan
mulud peringatan Muludan
dapat kami peroleh dengan pasti yaitu sudah ke 283 jadi dari informasi jumlah
peringatan haul serta Muludan yang sudah
dilaksanakan bisa diambil kemungkinan wafatnya Embah Soleh pada tahun 1727 M.
dengan rumus 2010-283= 1727.[10]
Dari
sinilah kemudian Muludan di kelurahan
Argasunya kemudian berkembang dan berbeda dari kampung atau kelurahan lainnya,
karena prosesi Muludan di kelurahan
Argasunya digelar bergilir namun serempak di seluruh kampung yang sudah
mendapatkan giliran untuk mengadakan acara tersebut, berdasarkan waktu yang
telah ditentukan, yang keumumannya
dilaksanakan pada waktu pagi, ba’da
asar, dan Malam hari ba’da isya.[11]
Analisis
Kemudian dari hal seperti inilah, perayaan acara Muludan kemudian dapat dikatakan berbeda
dari daerah lainnya atau bahkan wilayah kraton sendiri. Dari hal seperti inilah
kemudian menjadi sebuah kultur budaya yang berbeda, yang menjadikan sebuah keunikan
dan kearifan lokal darinya.
3. Prosesi Muludan di Kelurahan Argasunya
Muludan III
Pada hari pelaksanaan Muludan biasanya ditandai dengan rentetan ledakan beldogan atau petasan serta letusan puluhan kembang api yang merubah warna langit
menjadi berwarna-warni, yang menndakan acara kan dimulai. Dari anak-anak hingga
dewasa, dari rakyat biasa hingga para Kiai yang dianggap luar biasa ikut kempul
bercampur baur demi meramaikan Islam serta utamanya memperingati hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW.[12]
Tanpa harus
menunggu instruksi dari Kiai
atau tokoh masyarakat lainnya, yang ada di Kelurahan Argasunya,
warga sangat santusias
dalam menyediakan aneka makanan (panganan)
dan minuman untuk dihidangkan dalam perayaan maulid Nabi Muhamad SAW demi
memperoleh sebuah keberkahan dan pahala dari setiap makanan dan minuman yang
mereka hidangkan. Barakah
mengandung arti yang bermacam-macam, ada yang mengatakan sesuatu yang ditambah
ataupun sesuatu yang tidak dapat diraba.[13] Makanan
maupun minuman yang tidak setiap hari tergeletak di meja sarapan pagi, bisa
keluar begitu saja di perayaan maulid sebagai berkat. Penganan basah maupun
kering khas di lingkungan masing-masing, mengobati kerinduan mereka pada
makanan-makanan langka tersebut. Panganan
siap lahap antara lain adalah kue pisang, gemblong, uli, ketan, lemper, dan lainnya. Kecuali itu,
perayaan maulid juga dihadiri aneka buah-buahan baik yang panen musim setahun
sekali atau lebih.
Dalam menyajikan
hidangan maulid, warga sekenanya saja mengemas berkat. Kemasan yang dipakai
berupa daun pisang, plastik, kertas nasi, hingga daun jati. Ada juga yang
menggabungkan antara plastik dan daun pisang. Bahkan, ada pula yang membungkus
makanan dalam keranjang kecil atau
cetting, keranjang
buah, ember, dan Langseng[14]
. Itu sah-sah
saja jika ditinjau
dari hukum agama.
Isi
berkat tentu saja bukan urusan kiai apalagi jajaran perangkat desa. Isi berkat
ditentukan oleh individu masyarakat sendiri. Nasi boleh sama. Perkara lauknya,
itu putusan yang tidak akan pernah bulat hingga hari Kiamat. Lauk berkat boleh
daging kambing, sapi, ikan bandeng, ikan emas, ikan mujahir, ayam atau
telurnya. Boleh jadi daging itu juga
dimasak dengan berbagai model seperti digoreng, semur, rendang, atau dendeng.
Untuk ayam, ada kekhususan sedikit selain aneka model di atas, seperti yang
mungkin juga dapat disebut sebuah keharusan ialah ayam panggang utuh bekakak ayam.
Warga argasunya juga kerap menyajikannya dalam bentuk dimasak ataupun mentahan[15]
yang
pasti, nasi itu tidak dibiarkan sendirian. Akan terlihat janggal kalau nasi
putih sendirian mendekam di dalam berkat. Kemudian makanan yang disusun dengan bentuk
bertingkat berisikan makanan ringan beserta buah-buahan dan minuman berbentuk
botol yang sering disebut uter. Selanjutnya
acara ini berakhir dengan penuh kebahagiaan dan berjalan dengan sangat khidmat.
Diseluruh rumah dalam sebuah kampung yang biasanya dalam pelaksaanan Muludan tersebut dipimpin oleh kiai yang
telah mereka percayai, yang biasanya merupakan guru dari salah satu
keluarganya.[16]
F. Kesimpulan
Dari hasil penelitian serta pengetahuan yang saya
dapatkan dari bcaan buku-buku mengenai ruang lingkup pembahasan muludan tersebut, yang kemudian menjadi
sebuah tradisi serta kebudayaan yang menjadi sebuah keunikan serta kearifan
budaya lokal dari dulu hingga era kekinian di daerah Cirebon khususnya
masyarakat Argasunya. Maka dapat disimpulkan bahwa dari seluruh prosesi serta
sejarah yang saya dapatkan, tradisi muludan
ini merupakan sesuatu daya tarik atau sebuah bentuk penghormatan masyarakat
yang timbul karena kesadarannya sendiri tanpa paksaan siapapun yang akhirnya
peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, terus terjaga hingga sekarang
walaupun dilihat dari segi ekonomis yang saya ketahui tidak sedikit untuk
melaksanakan muludan ini. Karena
biasanya dilakukan secara bergotong royong dalam pengadaan dananya, namun
sangat berbeda yang dilakukan masyarakat Kelurahan Argasunya, mereka melakukan muludan dirumah-rumah mereka sendiri
yang dilakukan secara serempak. Mereka melakukan semua itu selain sebuah
tradisi, namun yang paling utama dari pelaksanaan ini masyarakat Argasunya
hakikatnya mengharapkan sebuah syafaat serta keberkahan dari apa yang telah mereka usahakan, baik dari segi tenaga,
fikiran, maupun dari barang-barang yang telah mereka usahakan darinya sehingga
menjadi sebuah berkat yng kemudian dimakan oleh semua orang yang hadir di muludan dan menjadi sebuah sedekah
makanan.[17]
Daftar
Pustaka
Ngabdurohman al-Jawi dan Abdul manan, Tradisi amaliah Nu & dalil-dalilnya,Jakarta:
LTM PBNU
P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, PN. Balai Pustaka
Rizem Aizid, 2015, Islam
Abangan dan Kehidupannya, Yogyakarta:Dipta
[1] Rizem Aizid, 2015, Islam Abangan dan Kehidupannya, Yogyakarta:Dipta,
hlm. 55
[2] Rizem Aizid, 2015, Islam Abangan dan Kehidupannya, Yogyakarta:Dipta,
hlm. 158
[3] Rizem Aizid, 2015, Islam Abangan dan Kehidupannya, Yogyakarta:Dipta,
hlm. 76
[4] Rizem Aizid, 2015, Islam Abangan dan Kehidupannya, Yogyakarta:Dipta,
hlm. 158
[5]P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, PN. Balai Pustaka, hlm.
50
[6] P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, PN. Balai Pustaka, hlm.
50-51
[7] P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, PN. Balai Pustaka, hlm.
51
[8] BPMPPKB
[9] Percakapan bersama Lurah Argasunya,
tanggal 23-11-2015
[10] Percakapan bersama keturunan ke-5
Mbah Soleh (Kang Maesur dan Kang Dulloh sebgai mantu) yang digabungkan dengan
data dari K.H. Faqihudin.
[11] Penelitian di lapangan serta
percakapan bersama para warga kampung.
[12] Hasil penelitian tersendiri, karena
saya tinggal di lingkungan tersebut. (3 Tahun)
[13] Ngabdurohman al-Jawi dan Abdul
manan, Tradisi amaliah Nu &
dalil-dalilnya,Jakarta: LTM PBNU, hlm. 31
[14] Tempat memasak beras, tempo dulu.
[15] Bahan makanan yang belum masak
[16] Hasil penelitian langsung di
lapangan. Tanggal 17-12-2015.
[17] Hasil dari percakapan bersama K.
Maesur serta Kiai lainnya yang telah saya temuai dan tanyakan mengenai apa
tujuan dari muludan serta buku Tradisi amaliah Nu & dalil-dalilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar