Sejarah Agama Shinto.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Penulisan
kali ini akan menulis mengenai sejarah agama-agama, ketika membahas mengenai
agama-agama mayoritas seperti Islam dan Kristen, tentunya semua orang
sedikit-banyaknya akan mengetahui apa dan bagaimana Islam dan Kristen itu.
Namun, bagaimana jika membahas mengenai agama yang secara kuantitas pemeluknya
jauh tertinggal dari agama-agama mayoritas itu. Agama yang kalah secara kuantitas
ini, setidaknya memiliki kualitas yang sama dengan agama-agama yang telah
diakui oleh masyrakat dunia. Agama-agama itu, dapat disebut sebagai agama
minoritas di mata dunia, namun sangat berpengaruh di negaranya masing-masing.
Dalam hal ini, agama Shinto yang tepatnya terletak pada negara Jepang, banyak
orang yang secara harfiah tidak mengetahui sejarah dan bagaimana proses ajaran
Shinto itu berlangsung.
Agama Shinto
adalah agama kuno, dalam sejarah agama jepang tepatnya sebelum perang dunia II
dan Kaisar di yakini sebagai penjelmaan Dewa yang turunan langsung dari Dewi
Matahari. Shinto sebagai agama panteistik, penganutnya menyembah Dewa atau Roh
yang dapat berada di kuil lokal tertentu yang disembah secara lokal maupun
maupun global. Shinto diperkirakan berkembang dari ritual-ritual dan Dewa-dewi
pemukiman awal Jepang. Kepercayaan ini juga memiliki aspek animisme, yaitu
keyakinan bahwa roh berada dalam berbagai benda di alam. Maka dari itulah,
agama Shinto mengajarkan manusia untuk menjalani kehidupan yang harmoni dengan
alam sekitarnya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas
maka dapat dirumuskan, “Bagaimana sejarah, ruang lingkup ajaran serta sistem
peribadatan agama Shinto?”
3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka
tujuan penulisan makalah ini, ialah untuk memaparakan dan menjelaskan mengenai
sejarah, ruang lingkup ajaran serta sistem pribadatan dalam agama Shinto.
B. Pembahasan
1. Asal Usul
Agama Shinto
Agama ini
timbul pada zaman Prasejarah dan siapa pembawanya tak dapat dikenal dengan
pasti. Penyebarannya ialah di Asia dan yang terbanyak ialah di Jepang.[1]Agama
shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk,
bukan datang dari luar. Nama asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna
jalan dewa.
Agama Shinto adalah
agama resmi rakyat Jepang. Agama ini diproklamirkan sebagai agama negara pada
tahun 1868 dan mempunyai kira-kira 10 aliran dengan penganut sekitar 21 juta
jiwa. Kata Shinto berasal dari bahasa Tionghoa/Cina, Shen yang artinya
roh dan Tao artinya jalan dunia, bumi dan langit. Jadi Shinto berarti
perjalanan roh yang baik.[2]
Pada saat
Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak
kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi dari
Tien-Tao, yang bermakna jalan langit. Perubahan bunyi iitu serupa halnya dengan
aliran Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab Mahayana di Tiongkok, menjadi
aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang. Agama shinto itu berpangkal pada
mithos bahwa bumi Jepang itu ciptaan dewata yag pertama-tama dan bahwa Jimmu
Tenno, kaisar Jepang yang pertama itu adalah turunan langsung dari Amaterasu
Omi Kami, yakni Dewi Matahari dalam perkawinannya dengan Touki Iomi, yakni Dewa
Bulan. Seluruh upacara dan kebaktian terpusat pada pokok keyakinan tersebut.
Sejarah
perkembangan agama Shinto di Jepang dapat dibagi kepada beberapa tahapan masa
sebagai berikut:
1. Masa
perkembangannya dengan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di Jepang, yaitu dari
tahun 660 sebelum masehi sampai tahun 552 masehi, didalam masa duabelas abad
lamanya.
2. Masa
agama Budha dan ajaran Konghuchu dan ajaran Tao masuk ke Jepang, yaitu dari
tahun 552 M sanpai tahun 800 M. Yang dalam masa dua setengah abad itu agama
sintho beroleh saingan berat. Pada tahun 645 M Kaisar Kotoku merestui agama
Budha dan menyampingkan Kami no Michi.
3. Masa
sinkronisasi antara agama Shinto dengan tiga ajaran agama lainnya, yaitu dari
tahun 800M sampai tahun 1700M. Dalam waktu Sembilan abad lamanya, akhirnya lahir Ryobu-Shinto (Shinto-Panduan).
Dibangun oleh Kobo-Daishi (774-835) dan Kitabake Chikafuza (1293-1354M) dan
Ichijo Kanoyoshi (1465-1500M)[3]
Demikian pula dengan dewa-dewa yang mereka hormati juga banyak
sekali kurang lebih sekitar 800 dewa. Yang terpenting adalah Amaterasu Omi
Kami (dewa matahari) juga dewa pelindung dan pertanian. Mengenai pembuatan
patung-patung dewa hampir tidak dikenal di Jepang kecuali seperti Uzuma
(dewa bahagia), Inari (dewa padi) dan Ebisu (dewa nelayan).
Meskipun terdapat patung-patung dewa namun mereka tidak pernah memujanya.
Sebagai gantinya mereka memuja benda suci yang bernama Mitama Shiro
(Shintai) yakni berupa cermin, pedang dan permata yang disimpan di kuil
pemujaan. Pada barang pemberian dewa ini terletak persatuan antara rakyat, keluarga
raja dan negara.[4]
Pemeluk agama Shinto selain mengagungkan para leluhur juga
mengagungkan kaisar, karena kaisar pertama dipandang sebagai keturunan langsung
Dewi Matahari serta dianggap juga kekal dan bersih dari segala macam kekurangan
dan kecacatan.
Orang Jepang
tidak menolak aliran-aliran apa saja yang datang ke sana, oleh karena itu agama
Buddha dan lain-lain yang datang ke Jepang dapat berkembang dengan baik.[5]
Dengan berakhirnya PD II sikap pemerintah Jepang berubah total selain mengakui
kekalahan dalam perang juga bersikap netral dalam agama dan menjamin hak
kemerdekaan agama sepenuhnya. Akhirnya pada bulan Desember 1945, dikeluarkan
sebuah ketetapan pemerintah yang dikenal dengan pedoman Shinto yang tujuannya
adalah membasmi semua bentuk paham militerisme dan ultra-nasionalisme,
membakukan kemerdekaan agama serta memisahkan agama dan negara. Selanjutnya
agama Shinto berdiri sendiri sebagai sebuah agama yang sama kedudukannya dengan
agama-agama lain.[6]
2. Ajaran-ajaran agama Shinto
a.
Api
dianggap suci, sebagai lambang kesucian dewa-dewa yang dipelihara oleh suku
Nakomi yakni suku yang mulia dan berkuasa.
b.
Jiwa
dianggap suci, orang-orang yang bersalah harus menghukum dirinya sendiri.
c.
Kebersihan
diri, tiap orang harus memelihara kebersihan dirinya sebab dewa tidak mau
menghampiri orang-orang yang berjiwa kotor. Oleh karena itu, pengikut agama
Shinto membenci sesuatu yang bisa mengotori badan dan baju mereka.
d.
Memelihara
pergaulan, orang-orang jahat jangan didekati sebab kejahatan itu timbul dari
jiwa yang jahat pula dan orang berusaha menjauhkan diri dari pancaran jiwa dan
roh jahat tersebut.
e.
Kerusakan
jiwa itu karena hantu dan setan, dia memasuki jiwa manusia melalui suara yang
jahat oleh karena itu, orang harus berusaha agar jiwanya tidak dirasuki oleh
perkataan-perkataan yang keji dan kotor.
f.
Tiap
orang harus tulus dan berbudi luhur, apabila ia mati supaya dapat dimasukkan ke
dalam golongan Kami atau roh-roh baik.[7]
3. Pemikiran dan Keyakinan
a.
Ajaran
tentang Kami
Agama ini mengandung dua unsur kepercayaan yakni menyembah alam dan
roh nenek moyang. Menurut agama ini, seseorang diwajibkan menyembah kepada roh
yang mereka sebut Kami yang berasal dari orang-orang yang telah
meninggal dunia yakni Kami leluhur tiap-tiap suku biasanya dipunyai oleh
anggota dari tiap-tiap suku tersebut, Kami para pahlawan dan Kami
nenek moyang tiap keluarga sendiri biasanya dianggap sebagai pelindung keluarga.
Tetapi ada pula yang berasal dari benda-benda alam yakni Kami dari
matahari, bulan, petir, sungai, gunung, pohon dan sebagainya. Dari abad ke abad
kekultusan kepada roh nenek moyang selalu berubah bentuknya tetapi sifat
kultusnya masih tetap sama.[8]
Ajaran tentang Kami ini, pada umumnya dikenal sebagai
Dinamisme dan dalam bahasa indonesianya disebut mana. Mana ini
mempunyai lima sifat, yakni punya kekuatan, tak dapat dilihat dan mempunyai
tempat yang tetap, tidak pasti baik atau buruk, serta dapat dikontrol dan juga
tidak. Contohnya seperti tenaga yang terdapat dalam listrik. Kekuatannya tidak
kelihatan namun efeknya terlihat dalam gerakan kapal di laut, mobil di darat
dan mesin di pabrik. Dalam arti pendek, mana terdapat dimana-mana dan
ada yang bersifat baik dan juga buruk. Mana yang terdapat dalam manusia
memang dapat dikontrol dengan mudah namun mana yang terdapat dalam alam
misalkan angin, matahari, arus sungai dan petir sulit untuk dikontrol. Maka
dari itu dukun/ahli sihir/pendeta-lah yang dianggap mampu untuk mengontrol mana
ini, untuk disucikan dengan ritual-ritual tertentu.[9]
b.
Ajaran tentang
Manusia
Konsep tentang manusia merupakan garis kesinambungan antara Kami
dan manusia. Kami diyakini bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan
transenden atas manusia. Kami dan manusia berada dalam suatu hubungan
yang diistilahkan Oya-ku seperti halnya hubungan antara orang tua dan
anak. Hal ini digambarkan dalam mitologi garis keturunan Kaisar Jepang yang
diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari. Jadi, manusia adalah putra Kami. Oleh
karena itu, manusia adalah makhluk yang hidup di bawah perlindungan dewa dan
ditakdirkan hidup bahagia.
c.
Ajaran
tentang Dunia
Agama Shinto termasuk tipe agama “lahir satu kali” maksudnya
memandang dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Dalam
pemikirannya terdapat tiga jenis Dunia yakni pertama, Tamano-hara (tanah
langit tinggi), sebuah dunia suci, rumah dan tempat tinggal para dewa langit (Amatsu-kami).
Kedua, Yomino-kuni berarti dunia yang dibayangkan sebagai dunia yang
gelap, kotor jelek, menyengsarakan dan tempat orang-orang yang sudah meninggal
dunia. Ketiga, Tokoyono-kuni berarti kehidupan yang abadi, negeri yang
jauh di seberang lautan atau kegelapan yang abadi. Maksudnya dunia yang
dibayangkan penuh dengan kenikmatan dan kedamaian dianggap sebagai tempat
tinggal arwah orang-orang yang meninggal dalam keadaan suci. Ketiga dunia ini
sering disebut kakuriyo (dunia yang tersembunyi) dan dunia tempat
tinggal manusia disebut ut-sushiyo (dunia yang terlihat).
d.
Ajaran
tentang Etika
Menurut D.C Holten (ahli sejarah Jepang), menyatakan bahwa
orang-orang Jepang dilahirkan dalam ajaran Shinto kesetiaannya terhadap kepercayaan
dan pengamalan ajarannya menjadi kualifikasi si pertama sebagai “orang jepang
yang baik”. Beberapa ajaran tentang kepribadian terkandung dalam ajaran
kesusilaan biasanya dilakukan oleh para bangsawan atau para ksatria Jepang,
antara lain:
1)
Keberanian
merupakan pokok utama yang ditanamkan pada anak dalam masa permulaan hidupnya.
2)
Sifat
penakut dikutuk karena sifat ini dipandang dosa.
3)
Loyalitas
yakni setia, pertama kesetiaan kepada Kaisar, anggota keluarga Kaisar,
masyarakat dan generasi yang akan datang.
4)
Kesucian
dan kebersihan adalah suatu hal yang sangat penting sehingga terdapat
upacara-upacara penyucian.
4. Tempat suci
Pada awalnya pemujaan dilakukan secara langsung, akan tetapi
mulailah didirikan bangunan-bangunan tertentu mulai dari yang sederhana sampai
permanen. Adapun tempat itu dinamakan jinja yang pada hakikatnya
merupakan upacara pensucian dalam rangka menyambut Kami. Upacara di jinja
ini terbagi dalam tiga tahapan yakni upacara pensucian pendahuluan (Kessai),
kedua upacara pensucian (harai), ketiga upacara persembahan sesaji.
Ketiga upacara ini adalah untuk membantu manusia menemukan kembali kesucian
diri dan ketulusan hatiyang sebenarnya serta menolong agar dapat hidup dalam
kondisi kehidupan memuja Kami dengan kesungguhan.
Dalam setiap jinja setidaknya terdiri dari dua bagian utama,
yakni honden (bagian dalam jinja) dan haiden (ruang
pemujaan). Adapun jinja yang lengkap terdiri dari norito-den
(ruang memanjatkan doa), heiden (ruang sesaji), kagura-den (ruang
pertunjukan upacara tari kagura), shamusho (ruang pengurus jinja),
te-zu-mi-ya (tempat mencuci tangan) dan torii (pemisah batas
antara daerah suci jinja dengan daerah biasa).
Jinja- jinja memiliki
tingkat dan diatur dalam sistem rangking yang mana masing-masing tingkatan
mendapat bantuan dari pemerintah. Dengan menilai dari segi kekhususan
pemujaannya seperti pemujaan nenek moyang kaisar, kaisar adan anggota
keluarganya atau dengan latar belakang sejarah tertentu.[10]
5.
Kitab-kitab Suci ajaran Shinto
Kitab yang tertua di dalam agama shinto
ada dua buah yang disusun sepuluh abad sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM). Dua
buah lagi disusun pada masa yang yang lebih belakang, ke-4 kita itu ialah : 1) Kojiki, 2) Nihonji, 3) Yengishiki, dan
4) Manyoshio, dari ke-4 kitab itu
memiliki isi yang berbeda, berikut isinya:[3]
a.
Kojiki, berisi cerita-cerita dan naluri kuno yang disusun pada tahun 712
M saat kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara yang dibangun pada tahun 710 M.
b.
Nihonji, berisi cerita-cerita Jepang yang disusun pada tahun 720 M oleh
penulis yang sama dengan dibantu oleh sang pangeran di istana.
c.
Yengishiki, berisi nyanyian-nyanyian dan puji-pujian yang disusun pada abad
ke-10 M terdiri atas lima puluh bab. Sepuluh pertama berisikan ulasan-ulasan
kisah-kisah purbakala yang bersifat kultus, dilanjutkan dengan peristiwa
selanjutnya sampai abad ke-10 M. Inti isinya ialah mencatat dua puluh lima Norito
yakni doa/puji-pujian yang panjang untuk upacara keagamaan.
d.
Manyoshio,
himpunan sepuluh ribu daun yang
disusun pada antara abad ke-5 dan abad ke-8 M serta berisikan bunga rampai
terdiri dari 4496 buah sajak.
Kitab Kojiki dan Nihonji menguraikan tentang abad
para dewa sampai kepada Amaterasu Omi Kami (Dewa Matahari) dan Tsukiyomi (Dewa
Bulan) yang diangkat menguasai langit dan putranya Jimmu Tenno yang diangkat
untuk menguasai tanah yang subur (Jepang) lalu disusul dengan silsilah
keturunan Kaisar Jepang serta upacara keagamaan dan pemujaan kepada Kaisar
beserta para dea-dewinya.[11]
6. Pengaruh Pemerintahan Jepang Terhadap Kelangsungan Agama Shinto
a.
Pada
masa Dinasti Nara (710-794)
Pada masa ini agama Buddha mencapai puncaknya karena pada waktu itu
banyak suku-suku terpandang dan para bangsawan menganut agama Buddha. Meski
begitu, agama asli tidaklah hilang bahkan persentuhan agama Buddha dengan orang
Jepang telah membangun dan menanamkan kesadaran tentang agama asli. Atas dasar
ini, kemudian muncullah istilah Shinto yang berasal dari bahasa Cina dan
digunakan untuk menyebut agama asli Jepang ini.
b.
Pada
masa Dinasti Heian (794-1185)
Pada masa ini, terjadi perpaduan agama Shinto dengan Buddha melalui
konsep Honji Suijaku setsu yakni konsep yang menjelaskan hubungan antara
dewa-dewa dalam agama Shinto dan para Buddha. Para Buddha dianggap sebagai Honji
dan dewa dalam agama Shinto sebagai jelmaan para Buddha. Dari konsep ini
lahirlah sinkretik agama Shinto dengan Buddha yang dinamakan Ryobu Shinto.
c.
Pada
masa permulaan Kamakura (1185-1333)
Pada masa ini, terjadi kebangkitan spiritual dengan munculnya tokoh-tokoh
pemikir Buddha yang menyebabkan timbulnya gerakan pembaharuan agama Buddha
sehingga membuat agama Buddha menjadi khas Jepang yang melahirkan Zen
Buddhisme.
d.
Pada
masa Muromachi (1338-1583)
Pada masa ini, muncul aliran dalam agama Shinto yang disebut Yoshida
Shinto yang mengajarkan kesatuan agama Shinto dengan Buddha dan Konfusius
dengan agama Shinto sebagai dasarnya. Sedangkan kesatuan agama Shinto dengan
Buddha dinamakan dengan Shinbutsu Shugo.
e.
Pada
masa Tokugawa (1603-1868)
Pada masa ini, agama Buddha ditetapkan sebagai agama resmi negara dan
setiap penduduk diwajibkan mencatatkan diri di klenteng-klenteng sebagai penganut
Buddha. Adapun tujuan dari kebijakan ini adalah untuk membendung masuknya
pengaruh agama Kristen yang dianggap sebagai ancaman bagi persatuan bangsa
Jepang dan sekaligus Kristen dituduh sebagai usaha terselubung kekuatan asing
yang ingin menaklukkan Jepang sehingga mengakibatkan agama Kristen dilarang di
Jepang dan secara otomatis tidak dapat berkembang.
f.
Pada
masa Restorasi Meiji (1868-1912)
Pada masa ini agama Kristen masih belum dapat menyebarkan agama
dengan leluasa, karena pemerintah melakukan gerakan pemurnian agama yakni
memisahkan agama Shinto dan Buddha. Pada tahun 1870, pemerintah membuat
keputusan untuk memperkuat hubungan agama Shinto dengan negara serta
menciptakan kultus nasional pemujaan terhadap Dewi Matahari sehingga membuat
Jepang menjadi negara teokrasi
berdasarkan pada kultus agama Shint. Di lain pihak, para pendeta Buddha justru
bekerja sama dengan orang-orang Kristen untuk menuntut pemisahan agama dari
negara dan mewujudkan kebebasan beragama bagi seluruh masyarakat Jepang.
Akhirnya pada tahun 1889, pemerintah mengeluarkan UU yang isinya diantaranya
adalah memberikan kebebasan beragama kepada semua warga Jepang selama tidak
membahayakan perdamaian, ketertiban dan tidak berlawanan dengan kewajibannya
sebagai warga negara serta menetapkan bahwa kepala negara dipegang oleh Kaisar
yang juga didukung oleh agama Konfusius dengan mendorong minat masyarakat
terhadap tradisi-tradisi Jepang kuno seperti minum teh, memakai pakaian Kimono
dll. Akhirnya, agama Kristen menjadi kaum oposisi yang berhadapan dengan
pemerintah dan kebanyakan dianut oleh kaum samurai yang tersingkir.
g.
Pada
masa setelah berakhirnya PD II-dewasa ini
Semenjak
berakhirnya PD II , sikap pemerintah Jepang berubah ttal dalam sikapnya
terhadap agama yakni menjadi netral dan menjamin hak kemerdekaan beragama
sepenuhnya yang dibuktikan dengan UU 1947 yang sebelumnya merupakan TAP
pemerintah yakni pedoman Shinto isinya diantaranya memisahkan agama dan negara
dan pembatasan kekuasaan Kaisar yang hanya merupakan simbl rakyat saja.
Sehingga membuat agama Shinto menjadi agama yang sama kedudukannya dengan agama
lain.[12] Meski
begitu, banyak agama yang masuk dan berkembang di Jepang, masyarakat Jepang
tetap menganggap bahwa agama asli mereka adalah agama Shinto. Dewasa ini,
masyarakat Jepang pada umumnya menganggap dirinya menganut salah satu agama
yakni agama Shinto, Buddha dan Kristen. Namun, ada juga yang menganut dan menjalankan
ketiga-tiganya.[13]
7. Praktik Keagamaan
Agama Shinto tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah
ditentukan. Setiap pemeluk agama ini akan mengunjungi tempat suci sesuai
kehendaknya, biasanya setiap tanggal 1 atau 15 tiap bulan atau pada saat penyelenggaraan
matsuri (pemujaan terhadap Kami). Di dalam penyembahan terhadap Kami biasanya
dipimpin oleh pendeta-pendeta yang disebut shinshoku dan memakai pakaian
khusus. Dua kali sehari pendeta-pendeta tersebut menyajikan sajian di dalam
kuil dengan membaca mantera-mantera dan puji-pujian. Kuil Shinto di Jepang
banyak sekali sekitar dua ratus ribu buah dan pendeta-pendeta tersebut dapat
turun-temurun[14]
namun untuk menjadi seorang pendeta harus melalui pendidikan kependetaan yang
diselenggarakan oleh jinja Honcho (persekutuan tempat suci Shinto) atau
melalui ujian. Biasanya para pendeta dibedakan dalam lima tingkatan adalah
sebagai berikut.
a.
Saishu
(tingkatan tertinggi), hanya dimiliki oleh seorang pangeran putra dari kalangan
keluarga kaisar
b.
Guji,
para pendeta yang memimpin sesuatu jinja serta bertanggung jawab akan
pelaksanaan upacara pada jinja-nya.
c.
Gon-guji,
kedudukannya dibawah sebagai pembantunya Guji.
d.
Negi,
pendeta biasa atau pendeta senior.
e.
Gon-negi,
pendeta muda (junior).
Ada pula
kelompok pendeta yang disebut shoten dan shoten-ho (wakil
pendeta), biasanya hanya bertugas dalam jinja istana kaisar.[15]
Apabila pemeluk itu taat maka melakukan pemujaan kepada Dewa setiap hari yakni
pada pagi hari membersihkan diri terlebih dulu sebelum menuju altar keluarga,
membungkukkan badan, bertepuk tangan dua kali, diam sebentar dengan sikap
hormat dan khidmat kemudian melakukan aktivitas keseharian. Pada kesempatan
lain bisa juga menghadap kepada matahari, gunung atau tempat suci.[16]
C. Penutup
Kesimpulan
Agama Shinto adalah agama resmi rakyat
Jepang. Agama ini diproklamirkan sebagai agama negara pada tahun 1868 dan
mempunyai kira-kira 10 aliran dengan penganut sekitar 21 juta jiwa. Kata Shinto
berasal dari bahasa Tionghoa/Cina, Shen yang artinya roh dan Tao
artinya jalan dunia, bumi dan langit. Jadi Shinto berarti perjalanan roh yang
baik.
Konsep tentang
manusia merupakan garis kesinambungan antara Kami dan manusia. Kami diyakini
bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan transenden atas manusia. Kami dan
manusia berada dalam suatu hubungan yang diistilahkan Oya-ku seperti
halnya hubungan antara orang tua dan anak. Hal ini digambarkan dalam mitologi
garis keturunan Kaisar Jepang yang diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari.
Jadi, manusia adalah putra Kami. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk
yang hidup di bawah perlindungan dewa dan ditakdirkan hidup bahagia.
Daftar Pustaka
Abu Ahmadi,
1991, Perbandingan Agama ,(Jakarta:
PT. Rineka Cipta).
Ahmadi,
Abu. 1977. Perbandingan Agama. (Salatiga: AB. Sitti Syamsiyah).
Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia, (Jakarta:Pustaka AlHusna)
Nadroh,
Siti dan Syaiful Azmi. 2015. Agama-Agama Minor. (Jakarta: PrenadaMedia
Group).
Nasution,
Harun. 1973. Falsafat Agama. (Jakarta: Bulan Bintang)
[2] Abu Ahmadi, 1977, Perbandingan Agama, (Salatiga: AB. Sitti
Syamsiyah), hal 6-7.
[4] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 6-7.
[5] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 7.
[6] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Op. cit, hal 63.
[7] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 9.
[8] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 6.
[9] Harun Nasution, 1973, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang),
hal 24-25.
[10] Ibid., hal 86-87.
[11] Ibid., hal 64-65.
[12] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, hal 61-63.
[13] Ibid., hal 106-117.
[14] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Op. cit, hal 69-72.
[15] Ibid., hal 88.
[16] Ibid.,, hal 72.
Best 8 casino hotels in Chicago | MapYRO
BalasHapusSearch for the best hotels in Chicago 경주 출장마사지 located at 1357 W. 문경 출장안마 and stay 고양 출장안마 at 634 이천 출장샵 W. Sixth 경산 출장샵 Avenue, Chicago, IL 60203.