Sabtu, 19 Desember 2015

Agama Shinto sebagai agama resmi Jepang

Hasil gambar untuk Gambar lambang agama shinto

Sejarah Agama Shinto.


A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang Masalah
Penulisan kali ini akan menulis mengenai sejarah agama-agama, ketika membahas mengenai agama-agama mayoritas seperti Islam dan Kristen, tentunya semua orang sedikit-banyaknya akan mengetahui apa dan bagaimana Islam dan Kristen itu. Namun, bagaimana jika membahas mengenai agama yang secara kuantitas pemeluknya jauh tertinggal dari agama-agama mayoritas itu. Agama yang kalah secara kuantitas ini, setidaknya memiliki kualitas yang sama dengan agama-agama yang telah diakui oleh masyrakat dunia. Agama-agama itu, dapat disebut sebagai agama minoritas di mata dunia, namun sangat berpengaruh di negaranya masing-masing. Dalam hal ini, agama Shinto yang tepatnya terletak pada negara Jepang, banyak orang yang secara harfiah tidak mengetahui sejarah dan bagaimana proses ajaran Shinto itu berlangsung.
Agama Shinto adalah agama kuno, dalam sejarah agama jepang tepatnya sebelum perang dunia II dan Kaisar di yakini sebagai penjelmaan Dewa yang turunan langsung dari Dewi Matahari. Shinto sebagai agama panteistik, penganutnya menyembah Dewa atau Roh yang dapat berada di kuil lokal tertentu yang disembah secara lokal maupun maupun global. Shinto diperkirakan berkembang dari ritual-ritual dan Dewa-dewi pemukiman awal Jepang. Kepercayaan ini juga memiliki aspek animisme, yaitu keyakinan bahwa roh berada dalam berbagai benda di alam. Maka dari itulah, agama Shinto mengajarkan manusia untuk menjalani kehidupan yang harmoni dengan alam sekitarnya.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan, “Bagaimana sejarah, ruang lingkup ajaran serta sistem peribadatan agama Shinto?”

3.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini, ialah untuk memaparakan dan menjelaskan mengenai sejarah, ruang lingkup ajaran serta sistem pribadatan dalam agama Shinto.



B.     Pembahasan
1.      Asal Usul Agama Shinto
Agama ini timbul pada zaman Prasejarah dan siapa pembawanya tak dapat dikenal dengan pasti. Penyebarannya ialah di Asia dan yang terbanyak ialah di Jepang.[1]Agama shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk, bukan datang dari luar. Nama asli agama itu ialah Kami no Michi yang bermakna jalan dewa.
 Agama Shinto adalah agama resmi rakyat Jepang. Agama ini diproklamirkan sebagai agama negara pada tahun 1868 dan mempunyai kira-kira 10 aliran dengan penganut sekitar 21 juta jiwa. Kata Shinto berasal dari bahasa Tionghoa/Cina, Shen yang artinya roh dan Tao artinya jalan dunia, bumi dan langit. Jadi Shinto berarti perjalanan roh yang baik.[2]
Pada saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak kebelakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna jalan langit. Perubahan bunyi iitu serupa halnya dengan aliran Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab Mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang. Agama shinto itu berpangkal pada mithos bahwa bumi Jepang itu ciptaan dewata yag pertama-tama dan bahwa Jimmu Tenno, kaisar Jepang yang pertama itu adalah turunan langsung dari Amaterasu Omi Kami, yakni Dewi Matahari dalam perkawinannya dengan Touki Iomi, yakni Dewa Bulan. Seluruh upacara dan kebaktian terpusat pada pokok keyakinan tersebut.
Sejarah perkembangan agama Shinto di Jepang dapat dibagi kepada beberapa tahapan masa sebagai berikut:
1. Masa perkembangannya dengan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di Jepang, yaitu dari tahun 660 sebelum masehi sampai tahun 552 masehi, didalam masa duabelas abad lamanya.
2. Masa agama Budha dan ajaran Konghuchu dan ajaran Tao masuk ke Jepang, yaitu dari tahun 552 M sanpai tahun 800 M. Yang dalam masa dua setengah abad itu agama sintho beroleh saingan berat. Pada tahun 645 M Kaisar Kotoku merestui agama Budha dan menyampingkan Kami no Michi.
3. Masa sinkronisasi antara agama Shinto dengan tiga ajaran agama lainnya, yaitu dari tahun 800M sampai tahun 1700M. Dalam waktu Sembilan abad lamanya,  akhirnya lahir Ryobu-Shinto (Shinto-Panduan). Dibangun oleh Kobo-Daishi (774-835) dan Kitabake Chikafuza (1293-1354M) dan Ichijo Kanoyoshi (1465-1500M)[3]
Demikian pula dengan dewa-dewa yang mereka hormati juga banyak sekali kurang lebih sekitar 800 dewa. Yang terpenting adalah Amaterasu Omi Kami (dewa matahari) juga dewa pelindung dan pertanian. Mengenai pembuatan patung-patung dewa hampir tidak dikenal di Jepang kecuali seperti Uzuma (dewa bahagia), Inari (dewa padi) dan Ebisu (dewa nelayan). Meskipun terdapat patung-patung dewa namun mereka tidak pernah memujanya. Sebagai gantinya mereka memuja benda suci yang bernama Mitama Shiro (Shintai) yakni berupa cermin, pedang dan permata yang disimpan di kuil pemujaan. Pada barang pemberian dewa ini terletak persatuan antara rakyat, keluarga raja dan negara.[4]
Pemeluk agama Shinto selain mengagungkan para leluhur juga mengagungkan kaisar, karena kaisar pertama dipandang sebagai keturunan langsung Dewi Matahari serta dianggap juga kekal dan bersih dari segala macam kekurangan dan kecacatan.
Orang Jepang tidak menolak aliran-aliran apa saja yang datang ke sana, oleh karena itu agama Buddha dan lain-lain yang datang ke Jepang dapat berkembang dengan baik.[5] Dengan berakhirnya PD II sikap pemerintah Jepang berubah total selain mengakui kekalahan dalam perang juga bersikap netral dalam agama dan menjamin hak kemerdekaan agama sepenuhnya. Akhirnya pada bulan Desember 1945, dikeluarkan sebuah ketetapan pemerintah yang dikenal dengan pedoman Shinto yang tujuannya adalah membasmi semua bentuk paham militerisme dan ultra-nasionalisme, membakukan kemerdekaan agama serta memisahkan agama dan negara. Selanjutnya agama Shinto berdiri sendiri sebagai sebuah agama yang sama kedudukannya dengan agama-agama lain.[6]

2.      Ajaran-ajaran agama Shinto
a.       Api dianggap suci, sebagai lambang kesucian dewa-dewa yang dipelihara oleh suku Nakomi yakni suku yang mulia dan berkuasa.
b.      Jiwa dianggap suci, orang-orang yang bersalah harus menghukum dirinya sendiri.
c.       Kebersihan diri, tiap orang harus memelihara kebersihan dirinya sebab dewa tidak mau menghampiri orang-orang yang berjiwa kotor. Oleh karena itu, pengikut agama Shinto membenci sesuatu yang bisa mengotori badan dan baju mereka.
d.      Memelihara pergaulan, orang-orang jahat jangan didekati sebab kejahatan itu timbul dari jiwa yang jahat pula dan orang berusaha menjauhkan diri dari pancaran jiwa dan roh jahat tersebut.
e.       Kerusakan jiwa itu karena hantu dan setan, dia memasuki jiwa manusia melalui suara yang jahat oleh karena itu, orang harus berusaha agar jiwanya tidak dirasuki oleh perkataan-perkataan yang keji dan kotor.
f.       Tiap orang harus tulus dan berbudi luhur, apabila ia mati supaya dapat dimasukkan ke dalam golongan Kami atau roh-roh baik.[7]

3.      Pemikiran dan Keyakinan
a.      Ajaran tentang Kami
Agama ini mengandung dua unsur kepercayaan yakni menyembah alam dan roh nenek moyang. Menurut agama ini, seseorang diwajibkan menyembah kepada roh yang mereka sebut Kami yang berasal dari orang-orang yang telah meninggal dunia yakni Kami leluhur tiap-tiap suku biasanya dipunyai oleh anggota dari tiap-tiap suku tersebut, Kami para pahlawan dan Kami nenek moyang tiap keluarga sendiri biasanya dianggap sebagai pelindung keluarga. Tetapi ada pula yang berasal dari benda-benda alam yakni Kami dari matahari, bulan, petir, sungai, gunung, pohon dan sebagainya. Dari abad ke abad kekultusan kepada roh nenek moyang selalu berubah bentuknya tetapi sifat kultusnya masih tetap sama.[8]

Ajaran tentang Kami ini, pada umumnya dikenal sebagai Dinamisme dan dalam bahasa indonesianya disebut mana. Mana ini mempunyai lima sifat, yakni punya kekuatan, tak dapat dilihat dan mempunyai tempat yang tetap, tidak pasti baik atau buruk, serta dapat dikontrol dan juga tidak. Contohnya seperti tenaga yang terdapat dalam listrik. Kekuatannya tidak kelihatan namun efeknya terlihat dalam gerakan kapal di laut, mobil di darat dan mesin di pabrik. Dalam arti pendek, mana terdapat dimana-mana dan ada yang bersifat baik dan juga buruk. Mana yang terdapat dalam manusia memang dapat dikontrol dengan mudah namun mana yang terdapat dalam alam misalkan angin, matahari, arus sungai dan petir sulit untuk dikontrol. Maka dari itu dukun/ahli sihir/pendeta-lah yang dianggap mampu untuk mengontrol mana ini, untuk disucikan dengan ritual-ritual tertentu.[9]

b.    Ajaran tentang Manusia
Konsep tentang manusia merupakan garis kesinambungan antara Kami dan manusia. Kami diyakini bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan transenden atas manusia. Kami dan manusia berada dalam suatu hubungan yang diistilahkan Oya-ku seperti halnya hubungan antara orang tua dan anak. Hal ini digambarkan dalam mitologi garis keturunan Kaisar Jepang yang diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari. Jadi, manusia adalah putra Kami. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang hidup di bawah perlindungan dewa dan ditakdirkan hidup bahagia.

c.    Ajaran tentang Dunia
Agama Shinto termasuk tipe agama “lahir satu kali” maksudnya memandang dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Dalam pemikirannya terdapat tiga jenis Dunia yakni pertama, Tamano-hara (tanah langit tinggi), sebuah dunia suci, rumah dan tempat tinggal para dewa langit (Amatsu-kami). Kedua, Yomino-kuni berarti dunia yang dibayangkan sebagai dunia yang gelap, kotor jelek, menyengsarakan dan tempat orang-orang yang sudah meninggal dunia. Ketiga, Tokoyono-kuni berarti kehidupan yang abadi, negeri yang jauh di seberang lautan atau kegelapan yang abadi. Maksudnya dunia yang dibayangkan penuh dengan kenikmatan dan kedamaian dianggap sebagai tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal dalam keadaan suci. Ketiga dunia ini sering disebut kakuriyo (dunia yang tersembunyi) dan dunia tempat tinggal manusia disebut ut-sushiyo (dunia yang terlihat).

d.   Ajaran tentang Etika
Menurut D.C Holten (ahli sejarah Jepang), menyatakan bahwa orang-orang Jepang dilahirkan dalam ajaran Shinto kesetiaannya terhadap kepercayaan dan pengamalan ajarannya menjadi kualifikasi si pertama sebagai “orang jepang yang baik”. Beberapa ajaran tentang kepribadian terkandung dalam ajaran kesusilaan biasanya dilakukan oleh para bangsawan atau para ksatria Jepang, antara lain:
1)      Keberanian merupakan pokok utama yang ditanamkan pada anak dalam masa permulaan hidupnya.
2)      Sifat penakut dikutuk karena sifat ini dipandang dosa.
3)      Loyalitas yakni setia, pertama kesetiaan kepada Kaisar, anggota keluarga Kaisar, masyarakat dan generasi yang akan datang.
4)      Kesucian dan kebersihan adalah suatu hal yang sangat penting sehingga terdapat upacara-upacara penyucian.

4.      Tempat suci
Pada awalnya pemujaan dilakukan secara langsung, akan tetapi mulailah didirikan bangunan-bangunan tertentu mulai dari yang sederhana sampai permanen. Adapun tempat itu dinamakan jinja yang pada hakikatnya merupakan upacara pensucian dalam rangka menyambut Kami. Upacara di jinja ini terbagi dalam tiga tahapan yakni upacara pensucian pendahuluan (Kessai), kedua upacara pensucian (harai), ketiga upacara persembahan sesaji. Ketiga upacara ini adalah untuk membantu manusia menemukan kembali kesucian diri dan ketulusan hatiyang sebenarnya serta menolong agar dapat hidup dalam kondisi kehidupan memuja Kami dengan kesungguhan.
Dalam setiap jinja setidaknya terdiri dari dua bagian utama, yakni honden (bagian dalam jinja) dan haiden (ruang pemujaan). Adapun jinja yang lengkap terdiri dari norito-den (ruang memanjatkan doa), heiden (ruang sesaji), kagura-den (ruang pertunjukan upacara tari kagura), shamusho (ruang pengurus jinja), te-zu-mi-ya (tempat mencuci tangan) dan torii (pemisah batas antara daerah suci jinja dengan daerah biasa).
Jinja- jinja memiliki tingkat dan diatur dalam sistem rangking yang mana masing-masing tingkatan mendapat bantuan dari pemerintah. Dengan menilai dari segi kekhususan pemujaannya seperti pemujaan nenek moyang kaisar, kaisar adan anggota keluarganya atau dengan latar belakang sejarah tertentu.[10]

5.        Kitab-kitab Suci ajaran Shinto
Kitab yang tertua di dalam agama shinto ada dua buah yang disusun sepuluh abad sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM). Dua buah lagi disusun pada masa yang yang lebih belakang, ke-4 kita itu ialah : 1) Kojiki, 2) Nihonji, 3) Yengishiki, dan 4) Manyoshio, dari ke-4 kitab itu memiliki isi yang berbeda, berikut isinya:[3]
a.       Kojiki, berisi cerita-cerita dan naluri kuno yang disusun pada tahun 712 M saat kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara yang dibangun pada tahun 710 M.
b.      Nihonji, berisi cerita-cerita Jepang yang disusun pada tahun 720 M oleh penulis yang sama dengan dibantu oleh sang pangeran di istana.
c.       Yengishiki, berisi nyanyian-nyanyian dan puji-pujian yang disusun pada abad ke-10 M terdiri atas lima puluh bab. Sepuluh pertama berisikan ulasan-ulasan kisah-kisah purbakala yang bersifat kultus, dilanjutkan dengan peristiwa selanjutnya sampai abad ke-10 M. Inti isinya ialah mencatat dua puluh lima Norito yakni doa/puji-pujian yang panjang untuk upacara keagamaan.
d.      Manyoshio, himpunan sepuluh ribu daun yang disusun pada antara abad ke-5 dan abad ke-8 M serta berisikan bunga rampai terdiri dari 4496 buah sajak.
Kitab Kojiki dan Nihonji menguraikan tentang abad para dewa sampai kepada Amaterasu Omi Kami (Dewa Matahari) dan Tsukiyomi (Dewa Bulan) yang diangkat menguasai langit dan putranya Jimmu Tenno yang diangkat untuk menguasai tanah yang subur (Jepang) lalu disusul dengan silsilah keturunan Kaisar Jepang serta upacara keagamaan dan pemujaan kepada Kaisar beserta para dea-dewinya.[11]





6.      Pengaruh Pemerintahan Jepang Terhadap Kelangsungan Agama Shinto
a.       Pada masa Dinasti Nara (710-794)
Pada masa ini agama Buddha mencapai puncaknya karena pada waktu itu banyak suku-suku terpandang dan para bangsawan menganut agama Buddha. Meski begitu, agama asli tidaklah hilang bahkan persentuhan agama Buddha dengan orang Jepang telah membangun dan menanamkan kesadaran tentang agama asli. Atas dasar ini, kemudian muncullah istilah Shinto yang berasal dari bahasa Cina dan digunakan untuk menyebut agama asli Jepang ini.

b.      Pada masa Dinasti Heian (794-1185)
Pada masa ini, terjadi perpaduan agama Shinto dengan Buddha melalui konsep Honji Suijaku setsu yakni konsep yang menjelaskan hubungan antara dewa-dewa dalam agama Shinto dan para Buddha. Para Buddha dianggap sebagai Honji dan dewa dalam agama Shinto sebagai jelmaan para Buddha. Dari konsep ini lahirlah sinkretik agama Shinto dengan Buddha yang dinamakan Ryobu Shinto.

c.       Pada masa permulaan Kamakura (1185-1333)
Pada masa ini, terjadi kebangkitan spiritual dengan munculnya tokoh-tokoh pemikir Buddha yang menyebabkan timbulnya gerakan pembaharuan agama Buddha sehingga membuat agama Buddha menjadi khas Jepang yang melahirkan Zen Buddhisme.

d.      Pada masa Muromachi (1338-1583)
Pada masa ini, muncul aliran dalam agama Shinto yang disebut Yoshida Shinto yang mengajarkan kesatuan agama Shinto dengan Buddha dan Konfusius dengan agama Shinto sebagai dasarnya. Sedangkan kesatuan agama Shinto dengan Buddha dinamakan dengan Shinbutsu Shugo.






e.       Pada masa Tokugawa (1603-1868)
Pada masa ini, agama Buddha ditetapkan sebagai agama resmi negara dan setiap penduduk diwajibkan mencatatkan diri di klenteng-klenteng sebagai penganut Buddha. Adapun tujuan dari kebijakan ini adalah untuk membendung masuknya pengaruh agama Kristen yang dianggap sebagai ancaman bagi persatuan bangsa Jepang dan sekaligus Kristen dituduh sebagai usaha terselubung kekuatan asing yang ingin menaklukkan Jepang sehingga mengakibatkan agama Kristen dilarang di Jepang dan secara otomatis tidak dapat berkembang.

f.       Pada masa Restorasi Meiji (1868-1912)
Pada masa ini agama Kristen masih belum dapat menyebarkan agama dengan leluasa, karena pemerintah melakukan gerakan pemurnian agama yakni memisahkan agama Shinto dan Buddha. Pada tahun 1870, pemerintah membuat keputusan untuk memperkuat hubungan agama Shinto dengan negara serta menciptakan kultus nasional pemujaan terhadap Dewi Matahari sehingga membuat Jepang  menjadi negara teokrasi berdasarkan pada kultus agama Shint. Di lain pihak, para pendeta Buddha justru bekerja sama dengan orang-orang Kristen untuk menuntut pemisahan agama dari negara dan mewujudkan kebebasan beragama bagi seluruh masyarakat Jepang.
Akhirnya pada tahun 1889, pemerintah mengeluarkan UU yang isinya diantaranya adalah memberikan kebebasan beragama kepada semua warga Jepang selama tidak membahayakan perdamaian, ketertiban dan tidak berlawanan dengan kewajibannya sebagai warga negara serta menetapkan bahwa kepala negara dipegang oleh Kaisar yang juga didukung oleh agama Konfusius dengan mendorong minat masyarakat terhadap tradisi-tradisi Jepang kuno seperti minum teh, memakai pakaian Kimono dll. Akhirnya, agama Kristen menjadi kaum oposisi yang berhadapan dengan pemerintah dan kebanyakan dianut oleh kaum samurai yang tersingkir.





g.      Pada masa setelah berakhirnya PD II-dewasa ini
Semenjak berakhirnya PD II , sikap pemerintah Jepang berubah ttal dalam sikapnya terhadap agama yakni menjadi netral dan menjamin hak kemerdekaan beragama sepenuhnya yang dibuktikan dengan UU 1947 yang sebelumnya merupakan TAP pemerintah yakni pedoman Shinto isinya diantaranya memisahkan agama dan negara dan pembatasan kekuasaan Kaisar yang hanya merupakan simbl rakyat saja. Sehingga membuat agama Shinto menjadi agama yang sama kedudukannya dengan agama lain.[12] Meski begitu, banyak agama yang masuk dan berkembang di Jepang, masyarakat Jepang tetap menganggap bahwa agama asli mereka adalah agama Shinto. Dewasa ini, masyarakat Jepang pada umumnya menganggap dirinya menganut salah satu agama yakni agama Shinto, Buddha dan Kristen. Namun, ada juga yang menganut dan menjalankan ketiga-tiganya.[13]

7.      Praktik Keagamaan
Agama Shinto tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah ditentukan. Setiap pemeluk agama ini akan mengunjungi tempat suci sesuai kehendaknya, biasanya setiap tanggal 1 atau 15 tiap bulan atau pada saat penyelenggaraan matsuri (pemujaan terhadap Kami). Di dalam penyembahan terhadap Kami biasanya dipimpin oleh pendeta-pendeta yang disebut shinshoku dan memakai pakaian khusus. Dua kali sehari pendeta-pendeta tersebut menyajikan sajian di dalam kuil dengan membaca mantera-mantera dan puji-pujian. Kuil Shinto di Jepang banyak sekali sekitar dua ratus ribu buah dan pendeta-pendeta tersebut dapat turun-temurun[14] namun untuk menjadi seorang pendeta harus melalui pendidikan kependetaan yang diselenggarakan oleh jinja Honcho (persekutuan tempat suci Shinto) atau melalui ujian. Biasanya para pendeta dibedakan dalam lima tingkatan adalah sebagai berikut.
a.       Saishu (tingkatan tertinggi), hanya dimiliki oleh seorang pangeran putra dari kalangan keluarga kaisar
b.      Guji, para pendeta yang memimpin sesuatu jinja serta bertanggung jawab akan pelaksanaan upacara pada jinja-nya.
c.       Gon-guji, kedudukannya dibawah sebagai pembantunya Guji.
d.      Negi, pendeta biasa atau pendeta senior.
e.       Gon-negi, pendeta muda (junior).
Ada pula kelompok pendeta yang disebut shoten dan shoten-ho (wakil pendeta), biasanya hanya bertugas dalam jinja istana kaisar.[15] Apabila pemeluk itu taat maka melakukan pemujaan kepada Dewa setiap hari yakni pada pagi hari membersihkan diri terlebih dulu sebelum menuju altar keluarga, membungkukkan badan, bertepuk tangan dua kali, diam sebentar dengan sikap hormat dan khidmat kemudian melakukan aktivitas keseharian. Pada kesempatan lain bisa juga menghadap kepada matahari, gunung atau tempat suci.[16]

       C.
Penutup
Kesimpulan
Agama Shinto adalah agama resmi rakyat Jepang. Agama ini diproklamirkan sebagai agama negara pada tahun 1868 dan mempunyai kira-kira 10 aliran dengan penganut sekitar 21 juta jiwa. Kata Shinto berasal dari bahasa Tionghoa/Cina, Shen yang artinya roh dan Tao artinya jalan dunia, bumi dan langit. Jadi Shinto berarti perjalanan roh yang baik.
Konsep tentang manusia merupakan garis kesinambungan antara Kami dan manusia. Kami diyakini bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan transenden atas manusia. Kami dan manusia berada dalam suatu hubungan yang diistilahkan Oya-ku seperti halnya hubungan antara orang tua dan anak. Hal ini digambarkan dalam mitologi garis keturunan Kaisar Jepang yang diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari. Jadi, manusia adalah putra Kami. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang hidup di bawah perlindungan dewa dan ditakdirkan hidup bahagia.

Daftar Pustaka
Abu Ahmadi, 1991, Perbandingan Agama ,(Jakarta: PT. Rineka Cipta).

Ahmadi, Abu. 1977. Perbandingan Agama. (Salatiga: AB. Sitti Syamsiyah).
Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia, (Jakarta:Pustaka AlHusna)
Nadroh, Siti dan Syaiful Azmi. 2015. Agama-Agama Minor. (Jakarta: PrenadaMedia Group).
Nasution, Harun. 1973. Falsafat Agama. (Jakarta: Bulan Bintang)


[1] Abu Ahmadi, 1991, Perbandingan Agama ,(Jakarta: PT. Rineka Cipta). hal 67
[2] Abu Ahmadi, 1977, Perbandingan Agama, (Salatiga: AB. Sitti Syamsiyah), hal 6-7.
[3] Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia, Jakarta:Pustaka AlHusna, hal.209
[4] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 6-7.
[5] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 7.
[6] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Op. cit, hal 63.
[7] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 9.
[8] Abu Ahmadi, 1977, Op. cit, hal 6.
[9] Harun Nasution, 1973, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang), hal 24-25.
[10] Ibid., hal 86-87.
[11] Ibid., hal 64-65.
[12] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, hal 61-63.
[13] Ibid.,  hal 106-117.
[14] Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, 2015, Op. cit, hal 69-72.
[15] Ibid., hal 88.
[16] Ibid.,, hal 72.

1 komentar:

  1. Best 8 casino hotels in Chicago | MapYRO
    Search for the best hotels in Chicago 경주 출장마사지 located at 1357 W. 문경 출장안마 and stay 고양 출장안마 at 634 이천 출장샵 W. Sixth 경산 출장샵 Avenue, Chicago, IL 60203.

    BalasHapus