Sabtu, 02 Januari 2016

Mantiq : Tokoh Al-farobi dalam Ilmu Mantik mengenai Qiyas



 Hasil gambar untuk al farabi
(Tokoh Al-Farabi dalam Ilmu Mantik mengenai Qiyas)
Al-Farabi (258/870-339 H/950 H)
Jika Aristoteles, dikenal sebagai tokoh, “peletak dasar ilmu logika” atau “Guru Pertama”, maka al-Farabi dalam dunia intelektual Islam dinilai sebagai “Guru Kedua” (al-Mu’allim al-Tsani). Gelar ini diberikan kepadanya, terutama karena perhatiannya yang sangat besar terhadap logika, serta pemahaman dan komentar-komentarnyayang sangat baik atas kitab-kitab Aristoteles. Ia belajar logika Aristoteles kepada seorang sarjana Kristen, Yuhanna Ibn Hailan di Baghdad, tetapi setelah itu ia mengungguli semua kawan sebayanya yang muslim.
Didalam kitab Isha’ al-‘Ulum, al-Farabi membagi logika kepada delapan bagian , sesuai dengan pembagian yang ada pada kitab Organon Aristoteles, yaitu.
a.       Kategri-kategri (al-Maqulat), yaitu berkenaan dengan kaidah-kaidah yang mengatur konsep-konsep dan penggunaan istilah tunggal yang sesuai dengan kaidah itu.
b.      Hemeneutika (al-Ibarat), yang berkenaan dengan pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi (Qodhiyah) yang sederhana yang terdiri dari dua istilah atau lebih.
c.       Analitika Priora (al-Qiyas), yang berkenaan dengan kaidah silogisme (Qiyas) yang digunakan dalam lima jenis (genus) argumen, yaitu: demonstratif, dialektik, sofistik, retorik dan puitik.
d.      Analitika Psteriora (al-Burhan), yang berkenaan dengan kaidah-kaidah pembuktian demnstratif dan sifat dasar pengetahuan ilmiah.
e.       Topika (al-Jadal), yang berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban diakletik
f.       Sphistika (al-safsathah, atau al-mughalathah), adalah yang berkenaan dengan argumen-argumen sofistik dan cara untuk menghindarkannya.
g.      Retorika (al-Khathabah), yang berkenaan dengan jenis-jenis persuasi dan dampaknya atas pendengar dalam berpidato.
h.      Puitika (al-syi’r), adalah yang berkenaan dengan kaidah-kaidah menulis puisi dan bermacam-macam jenis pernyataan puitis dan keunggulan mereka yang komparatif.[1]

Menurut al-Farabi, bagian keempat, Analitika Posteriora (al-Qiyas al-Burhany), adalah logika yang sesungguhnya dan paling penting , dibandingkan dengan yang lainnya. Adapun  tiga sebelumnya (kategori, hermeneutika, dan analitika priori) adalah sebagi pendahuluan ilmu berlogika, sedangkan empat terakhir (topika, sophistika, retorika, dan puitika) merupakan penerapan dan perbandingan, dimaksudkan untuk memberikan perbedaan dan penjelasan. Karena itu nilai kualitas dan manfaatnya berbeda antara satu sama lainnya. Untuk ini al-Frobi meletakkan lima silogisme (Qiyas) atau landasanpenalaran.
a.       Analogi demonstratif (al-Qiyas al-Burhany), ini sesuai dengan analitika posteririnya Aristoteles, yaitu pembuktian yang menampakkan sifat demnstratif nya bila ia membawa kepada kepastian.
b.      Analogi dialektik, ini sesuai dengan Topiknya Aristoteles, yaitu pembuktian yang memberikan kemungkinan yang lebih kuat , sehingga diduga ia mencapai tinggkat kepastian, padahal ia tidaklah demikian.
c.       Analgi Sfistik, ini sesuai dengan Sfistiknya Aristoteles, yaitu pembuktianyang sebenarnya adalah keliru dan salah, tetapi kekeliruan dan kesalahan itu dapat digambarkan seakan-akan benar, dan sebaliknya yang benar menjadi salah.
d.      Analogi Retorik, ini juga sama dengan Retorikanya Aristoteles, yaitu pembuktian yang mencapai pada suatu tingkat kepuasan , tanpa memberikan suatu keyakinan yang pasti.
e.       Analgi Puitik, juga sama dengan Puitiknya Aristoteles, yaitu pembuktian yang berdasarkan imajinasi sebagai ganti penalaran pemikiran, dan ia cenderung kepada perasaan sebagai pengganti kebenaran rasional.[2]
Mengenai Qiyas atau silogisme, menurut bahasa ialah mengira-ngirakan sesuatu dengan penaksiran yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah ucapan atau pemikiran yang tersusun dengan bentuk tertentu dari beberapa qadhiyah atau proposisi dan dengan sendirinya (dzatiyah) menetatapkan ucapan lain. Sedangkan definisi Qdhiyah atau proposisi ialah sebuah lafadz yang dengan sendirinya (dzatiyah) memiliki kandungan makna yang berpotensi dinilai benar dan bohong.[3]


[1]Zainun Kamal, 2006, Ibn Taimiyah Versus Para Filoosof, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal 53-54
[2]Zainun Kamal, 2006, Ibn Taimiyah Versus Para Filoosof, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal 55-56
[3]Darul Azka Nailul Huda, 2013, Sulam al-Munawraq, Lirby Press. Hal. 63 dan 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar