Ilmu, dilalah dan lafadh
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang
sempurna, karena manusia berbeda dari makhluk lainnya. Keistimewaan manusia
dari makhluk lainnya karena manusia mempunyai
akal, sehingga manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk,
dan memikirkan segala macam masalah yang ada dalam ruang lingkup kehidupannya.
Tidak ada makhluk yang paling mulia di dunia ini kecuali karena manusia yang
menggunakan akalnya demi memperoleh mutiara kebenaran dari-Nya.
Manusia selama hidupnya
menggunakan akalnya sebagai petunjuk dalam memilah dan memilih dalam hidupnya
guna memperoleh kemanfaatan dan meninggalakan kemudharatan. Akal manusia yang
kemudian menciptakan banyak timbulnya pengetahuan-pengetahuan, yang berasal
dari hasil berfikir serta pengalamannya terhadap kejadian-kejadian yang timbul
di alam dunia ini. Dari awal mula manusia yang tak tahu mengenai apapun
sehingga timbul darinya banyak sekali pertanyaan mengenai Dunia dan segala yang
ada dalam ruang lingkupnya, sehingga timbullah asumsi-asumsi dari hasil
pemikirannya, yang menghasilkan pengetahuan-pengetahuan. Kemudian dari
pengetahuan-pengetahuan inilah muncul sebuah pembahasan mengenai ilmu, dilalah,
beserta lafadz di dalamnya. Pembahasan mengenai ilmu, dilalah, dan lafadz ini
berkaitan erat dengan cara (undang-undang) berpikir yang benar (mantiq)
B. Pembahasan Ilmu, Dilalah, dan
Lafadz
1. Pengertian Ilmu
Ilmu ialah untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui
dengan keyakinan atau perkiraan yang kuat, pengertian itu sesuai dengan
kenyataan atau tidak.[1]
Ilmu itu ada 2
bagian, yaitu :
1. Ilmu qadim (dahulu), yaitu ilmu Allah
Swt.
2. Ilmu Hadits (baru), yaitu ilmu yang
dimiliki makhluk. Ilmu dalam cakupan inilah yang akan kita bahas di dalamnya.[2]
Ilmu menurut ahli mantiq (logika) ialah hal yang
mengetahui sesuatu yang majhul secara yakin atau zhann (dugaan), sesuai
kenyataan atau tidak. Contoh: Ketika seseorang melihat bayangan dari arah jauh
dan ia mengetahui bahwa dia adalah manusia, dia yakin betul dan kenyataannya
bayangan tersebut adalah manusia, mak pengetahuan (penemuan) orang itu disebut
ilmu (buah fikiran) yang pasti benar. Tapi jika dia melihat bayangan tersebut
hanya menduga bahwa dia adalah manusia, dan kenyataannya memang demikian, maka
penemuan orang tersebut disebut ilmu (buah fikiran) zhann yang sesuai
dengan kenyataan (benar).
Apabila sesuatu
yang dilihat, diketahui, diyakini atau diduga oleh orang tersebut tidak sesuai
dengan kenyataan, misalnya ternyata faham bahwa manusia, maka penemuan orang
tersebut disebut ilmu (buah fikiran) yang salah atau ilmu zhann (dugaan)
yang keliru. Oleh sebab itu,keyakinan orang-orang tertentu bahwa bumi datar,
tidak bulat adalah pengetahuan yang bersifat keyakinan yang salah.
Sebenarnya Ilmu
dan pengetahuan tidaklah berbeda dalam jenisnya, melainkan dalam tarafnya. Ilmu
lebih dirumuskan, lebih tersususn baik dan tepat dari pada pengetahuan.
Kesimpulannya,
ilmu ialah suatu susunan yang sistematis yang mempersoalkan bagian tertentu
dari alam semesta (makhluk)[3]
a. Klasifikasi Ilmu Hadits
(Makhluk)
Secara
karakteristik, ilmu hadits dikelompokan menjadi 2 macam, yaitu:
1.
Tashawwur(konsepsi)
Yaitu memahami
makna sebuah perkara tanpa disertai penyandaran hukum pada perkara tersebut.
Dalam arti, gambaran makna dari sebuah perekara telah berhasil terwujud di
dalam hati, namun tanpa disertai adanya suatu hukum, baik dalam bentuk pen-nisbat-an
(penyandaran) atau pentiadaan. Tashawwur terbagi menjadi 2 macam:
1.
Tashawwur Nadhari(konsepsi perhitungan), yaitu tashawwur yang
dihasilkan melalui proses analisaa dan pemikiran.
2.
Tashawwur dharuri (konsepsi aksiomatis), yaitu tashawwuryang
dihasilkan tanpa melalui proses analisa dan pemikiran.
2.
Tashdiq (legalitas)
Menurut ulama mantiq, tashdiq adalah memahami atau
mengetahui ada atau tidak adanya penyandaran hukum pada suatu perkara. Artinya,
hati telah mampu menggambarkan makna sekaligus penyandran hukum pada suatu
perkara. Tashdiq terbagi menjadi 2 macam:
1. Tashdiq nadhari (legalitas perhitungan),
yaitu tashdiq yan g dihasilkan melalui proses analisa dan pemikiran.
2.
Tashdiq dharuri (legalitas aksiomatis), yaitu tashdiq yang
dihasilkan tanpa melalui proses analisa dan pemikiran.[4]
b.
Macam-macam
dilalah
a.
Dilalah
lafdhiyah: apabila si penunjuk merupakan lafadh atau suara. Contohnya yakni
kamu sering memperhatikan orang yang sedang naik kereta apai atau bus. Diantara
mereka ada yang batuk-batuk, oleh sebab itu kamu pindah tempat. Hal ini berarti
menunjukkan bahwa kamu mengetahui seseorang yang batuk-batuk itu sakit dada.
Lalu dilalah lafdhiyah apabila dilihat dari sisi maknanya maka dibagi lagi
menjadi tiga bagian yaitu:
1)
Dilalah
Mutabaqah, dilalah suatu lafadh yang menunjukkan makna seluruhnya atau
sepenuhnya. Contohnya seperti bila kamu berjanji dengan seseorang untuk
menyewakan rumah maka dalam arti yang sepenuhnya yakni termasuk dinding, atap
dan sebagainya.
2)
Dilalatul
tadhamuniyah, dilalah suatu lafadh yang menunjukkan makna sebagian. Contohnya
seperti bila kamu menyuruh tukang cat untuk mengecat rumah mestinya perkataan
rumah ini tidak dimaksudkan keseluruhannya tetapi misalnya hanya pintu-pintunya
atau jendelanya saja.
3)
Dilalah
ittizamiyah, dilalah suatu lafadh yang menunjukkan sesuatu yang di luar makna
tersebut, akan tetapi makna tersebut merupakan lazim yang tak dapat dipisahkan.
Contohnya seperti masak di rumah tentunya yang dimaksud “masak” di situ adalah
dapur serta dapur itu merupakan kelaziman dari rumah yang tak dapat dipisahkan.[5]
b.
Dilalah
ghairu lafdhiyah: apabila si penunjuk bukan merupakan lafadh tetapi merupakan
isyarat, tanda-tanda, bekas-bekas dll. Contohnya yakni bila kamu bercakap-cakap
dengan seseorang dan percakapanmu tersebut mengandung pujian yang berlebihan
maka orang itu nampak merah mukanya karena ia merasa malu.
Kedua
macam dilalah ini terdiri atas aqliyah (dibentuk akal), thabi’iyah (terbentuk
alami) dan wadh’iyah (dibuat-buat).
c.
Pembagian
lafadh
a.
Lafadh
mufrad, satu kata atau kata yang bermakna tunggal. Seperti kata rumah, duduk
dll. Dilihat dari bentuknya lafadh ini terbagi menjadi tiga yaitu:
1)
Lafadh
mufrad yang menunjukkan suatu makna yang tidak mengandung waktu, seperti pohon,
Jakarta, Muhammad dll. Lafadh-lafadh tersebut disebut nama sesuatu. Nama itu
disebut isim. Baik nama benda maupun bukan benda.
2)
Lafadh
mufrad yang menunjukkan pengertian dalam waktu tertentu dimana subjeknya tidak
tertentu, seperti membaca, berjalan, duduk dll. Lafadh tersebut dinamakan
perbuatan atau disebut juga fi’il yakni yang menunjukkan pada satu waktu
dengan subjek tidak tertentu.
3)
Lafadh
mufrad yang menunjukkan pada satu makna dimana tidak terpahami tanpa adanya
lafadh lain, seperti dengan, atas, bahwa dll. Lafadh tersebut disebut huruf
oleh ahli mantiq disebut ‘adah.
b.
Lafadh
murakkab tam, beberapa kata
yang tersusun dimana masing-masing kata mempunyai arti masing-masing hingga
memberi pengertian yang lengkap/sempurna. Contohnya yakni monas adalah bangunan
tertinggi di Jakarta. Lafadh ini terbagi lagi menjadi dua yaitu:
1)
Murakkab
tam khabari (qadhiah), suatu
susunan lafadh yang mengandung keraguan tentang benar atau kebohongan. Seperti
besi itu logam, pisang itu buah-buahan, air itu mengalir ketempat yang lebih
rendah.
2)
Murakkab
tam insya’i, yakni kebalikan
dari murakkan tam khabari. Namun menurut sebagian ahli mantiq bukan masuk
ketegori yang benar atau bohong sebelum ada jawaban pertanyaan. dinamakan
insya’i karena dalam pembahasannya pada umumnya dalam bentuk perintah, larangan
dan ajakan.[6]
2. Penutup
Kesimpulan
Pada ilmu mantiq, definisi mengenai pembahasan ilmu,
dilalah, lafadh merupakan suatu konsepsi yang sangat berkesinambungan. Ilmu
ialah suatu susunan yang sistematis yang mempersoalkan bagian tertentu dari
alam semesta (makhluk), serta mengenai dilalah dan lafadh adalah dua hal yang
tidak mungkin dipisahkan, karena lafadhlah adanya dilalah.
[1] Taib Thahir, 1987, Ilmu Mantiq (Logika), Widjaya Jakarta, hlm.
19
[2]Fadlil Said, 2005, Ilmu Mantiq, Al-Hidayah Surabaya, hlm. 8
[3] Fadlil Said, 2005, Ilmu Mantiq, Al-Hidayah Surabaya, hlm. 8-9
[4]Darul Azka dan Nilul Huda, 2013, Sulam al-Munawwaroq, Lirboyo
Press, hlm. 23-24
[5]Taib Thahir Abd. Mu’in, 1987, Op. cit, hal 29-32.
[6]Basiq Djalil, 2010, Op. cit, hal 10-11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar