Sabtu, 02 Januari 2016

Mantiq : Ilmu, dilalah, dan lafadh



 Hasil gambar untuk mantiq
Ilmu, dilalah dan lafadh
A.     Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang sempurna, karena manusia berbeda dari makhluk lainnya. Keistimewaan manusia dari makhluk lainnya karena manusia mempunyai  akal, sehingga manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan memikirkan segala macam masalah yang ada dalam ruang lingkup kehidupannya. Tidak ada makhluk yang paling mulia di dunia ini kecuali karena manusia yang menggunakan akalnya demi memperoleh mutiara kebenaran dari-Nya.
Manusia selama hidupnya menggunakan akalnya sebagai petunjuk dalam memilah dan memilih dalam hidupnya guna memperoleh kemanfaatan dan meninggalakan kemudharatan. Akal manusia yang kemudian menciptakan banyak timbulnya pengetahuan-pengetahuan, yang berasal dari hasil berfikir serta pengalamannya terhadap kejadian-kejadian yang timbul di alam dunia ini. Dari awal mula manusia yang tak tahu mengenai apapun sehingga timbul darinya banyak sekali pertanyaan mengenai Dunia dan segala yang ada dalam ruang lingkupnya, sehingga timbullah asumsi-asumsi dari hasil pemikirannya, yang menghasilkan pengetahuan-pengetahuan. Kemudian dari pengetahuan-pengetahuan inilah muncul sebuah pembahasan mengenai ilmu, dilalah, beserta lafadz di dalamnya. Pembahasan mengenai ilmu, dilalah, dan lafadz ini berkaitan erat dengan cara (undang-undang) berpikir yang benar (mantiq)


B.      Pembahasan Ilmu, Dilalah, dan Lafadz
1.      Pengertian Ilmu
Ilmu ialah untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui dengan keyakinan atau perkiraan yang kuat, pengertian itu sesuai dengan kenyataan atau tidak.[1]
Ilmu itu ada 2 bagian, yaitu :
1.      Ilmu qadim (dahulu), yaitu ilmu Allah Swt.
2.      Ilmu Hadits (baru), yaitu ilmu yang dimiliki makhluk. Ilmu dalam cakupan inilah yang akan kita bahas di dalamnya.[2]
        Ilmu menurut ahli mantiq (logika) ialah hal yang mengetahui sesuatu yang majhul secara yakin atau zhann (dugaan), sesuai kenyataan atau tidak. Contoh: Ketika seseorang melihat bayangan dari arah jauh dan ia mengetahui bahwa dia adalah manusia, dia yakin betul dan kenyataannya bayangan tersebut adalah manusia, mak pengetahuan (penemuan) orang itu disebut ilmu (buah fikiran) yang pasti benar. Tapi jika dia melihat bayangan tersebut hanya menduga bahwa dia adalah manusia, dan kenyataannya memang demikian, maka penemuan orang tersebut disebut ilmu (buah fikiran) zhann yang sesuai dengan kenyataan (benar).
Apabila sesuatu yang dilihat, diketahui, diyakini atau diduga oleh orang tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, misalnya ternyata faham bahwa manusia, maka penemuan orang tersebut disebut ilmu (buah fikiran) yang salah atau ilmu zhann (dugaan) yang keliru. Oleh sebab itu,keyakinan orang-orang tertentu bahwa bumi datar, tidak bulat adalah pengetahuan yang bersifat keyakinan yang salah.
Sebenarnya Ilmu dan pengetahuan tidaklah berbeda dalam jenisnya, melainkan dalam tarafnya. Ilmu lebih dirumuskan, lebih tersususn baik dan tepat dari pada pengetahuan.
Kesimpulannya, ilmu ialah suatu susunan yang sistematis yang mempersoalkan bagian tertentu dari alam semesta (makhluk)[3]
a.      Klasifikasi Ilmu Hadits (Makhluk)
Secara karakteristik, ilmu hadits dikelompokan menjadi 2 macam, yaitu:
1.       Tashawwur(konsepsi)
Yaitu memahami makna sebuah perkara tanpa disertai penyandaran hukum pada perkara tersebut. Dalam arti, gambaran makna dari sebuah perekara telah berhasil terwujud di dalam hati, namun tanpa disertai adanya suatu hukum, baik dalam bentuk pen-nisbat-an (penyandaran) atau pentiadaan. Tashawwur terbagi menjadi 2 macam:
1.      Tashawwur Nadhari(konsepsi perhitungan), yaitu tashawwur yang dihasilkan melalui proses analisaa dan pemikiran.
2.      Tashawwur dharuri (konsepsi aksiomatis), yaitu tashawwuryang dihasilkan tanpa melalui proses analisa dan pemikiran.

2.      Tashdiq (legalitas)
Menurut ulama mantiq, tashdiq adalah memahami atau mengetahui ada atau tidak adanya penyandaran hukum pada suatu perkara. Artinya, hati telah mampu menggambarkan makna sekaligus penyandran hukum pada suatu perkara. Tashdiq terbagi menjadi 2 macam:
1.      Tashdiq nadhari (legalitas perhitungan), yaitu tashdiq yan g dihasilkan melalui proses analisa dan pemikiran.
2.      Tashdiq dharuri (legalitas aksiomatis), yaitu tashdiq yang dihasilkan tanpa melalui proses analisa dan pemikiran.[4]

b.      Macam-macam dilalah
a.       Dilalah lafdhiyah: apabila si penunjuk merupakan lafadh atau suara. Contohnya yakni kamu sering memperhatikan orang yang sedang naik kereta apai atau bus. Diantara mereka ada yang batuk-batuk, oleh sebab itu kamu pindah tempat. Hal ini berarti menunjukkan bahwa kamu mengetahui seseorang yang batuk-batuk itu sakit dada. Lalu dilalah lafdhiyah apabila dilihat dari sisi maknanya maka dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu:
1)      Dilalah Mutabaqah, dilalah suatu lafadh yang menunjukkan makna seluruhnya atau sepenuhnya. Contohnya seperti bila kamu berjanji dengan seseorang untuk menyewakan rumah maka dalam arti yang sepenuhnya yakni termasuk dinding, atap dan sebagainya.
2)      Dilalatul tadhamuniyah, dilalah suatu lafadh yang menunjukkan makna sebagian. Contohnya seperti bila kamu menyuruh tukang cat untuk mengecat rumah mestinya perkataan rumah ini tidak dimaksudkan keseluruhannya tetapi misalnya hanya pintu-pintunya atau jendelanya saja.
3)      Dilalah ittizamiyah, dilalah suatu lafadh yang menunjukkan sesuatu yang di luar makna tersebut, akan tetapi makna tersebut merupakan lazim yang tak dapat dipisahkan. Contohnya seperti masak di rumah tentunya yang dimaksud “masak” di situ adalah dapur serta dapur itu merupakan kelaziman dari rumah yang tak dapat dipisahkan.[5]
b.      Dilalah ghairu lafdhiyah: apabila si penunjuk bukan merupakan lafadh tetapi merupakan isyarat, tanda-tanda, bekas-bekas dll. Contohnya yakni bila kamu bercakap-cakap dengan seseorang dan percakapanmu tersebut mengandung pujian yang berlebihan maka orang itu nampak merah mukanya karena ia merasa malu.
Kedua macam dilalah ini terdiri atas aqliyah (dibentuk akal), thabi’iyah (terbentuk alami) dan wadh’iyah (dibuat-buat).

c.       Pembagian lafadh
a.       Lafadh mufrad, satu kata atau kata yang bermakna tunggal. Seperti kata rumah, duduk dll. Dilihat dari bentuknya lafadh ini terbagi menjadi tiga yaitu:
1)      Lafadh mufrad yang menunjukkan suatu makna yang tidak mengandung waktu, seperti pohon, Jakarta, Muhammad dll. Lafadh-lafadh tersebut disebut nama sesuatu. Nama itu disebut isim. Baik nama benda maupun bukan benda.
2)      Lafadh mufrad yang menunjukkan pengertian dalam waktu tertentu dimana subjeknya tidak tertentu, seperti membaca, berjalan, duduk dll. Lafadh tersebut dinamakan perbuatan atau disebut juga fi’il yakni yang menunjukkan pada satu waktu dengan subjek tidak tertentu.
3)      Lafadh mufrad yang menunjukkan pada satu makna dimana tidak terpahami tanpa adanya lafadh lain, seperti dengan, atas, bahwa dll. Lafadh tersebut disebut huruf oleh ahli mantiq disebut ‘adah.

b.      Lafadh murakkab tam, beberapa kata yang tersusun dimana masing-masing kata mempunyai arti masing-masing hingga memberi pengertian yang lengkap/sempurna. Contohnya yakni monas adalah bangunan tertinggi di Jakarta. Lafadh ini terbagi lagi menjadi dua yaitu:
1)      Murakkab tam khabari (qadhiah), suatu susunan lafadh yang mengandung keraguan tentang benar atau kebohongan. Seperti besi itu logam, pisang itu buah-buahan, air itu mengalir ketempat yang lebih rendah.
2)      Murakkab tam insya’i, yakni kebalikan dari murakkan tam khabari. Namun menurut sebagian ahli mantiq bukan masuk ketegori yang benar atau bohong sebelum ada jawaban pertanyaan. dinamakan insya’i karena dalam pembahasannya pada umumnya dalam bentuk perintah, larangan dan ajakan.[6]



2.      Penutup
Kesimpulan
      Pada ilmu mantiq, definisi mengenai pembahasan ilmu, dilalah, lafadh merupakan suatu konsepsi yang sangat berkesinambungan. Ilmu ialah suatu susunan yang sistematis yang mempersoalkan bagian tertentu dari alam semesta (makhluk), serta mengenai dilalah dan lafadh adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan, karena lafadhlah adanya dilalah.


[1] Taib Thahir, 1987, Ilmu Mantiq (Logika), Widjaya Jakarta, hlm. 19
[2]Fadlil Said, 2005, Ilmu Mantiq, Al-Hidayah Surabaya, hlm. 8
[3] Fadlil Said, 2005, Ilmu Mantiq, Al-Hidayah Surabaya, hlm. 8-9
[4]Darul Azka dan Nilul Huda, 2013, Sulam al-Munawwaroq, Lirboyo Press, hlm. 23-24
[5]Taib Thahir Abd. Mu’in, 1987, Op. cit, hal 29-32.
[6]Basiq Djalil, 2010, Op. cit, hal 10-11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar